‘Mengukir Taqdir’ itulah pernyataan Soetrisno Bachir yang sangat menarik buat penulis dalam pemaparannya dalam acara webinar sabtu, 13 juni 2020. Webinar yang diselenggarakan oleh Sahabat Subuh Foundation itu mengambil tema ‘Pespektif Ekonomi Syariah di Era New Normal’. Bertindak sebagai keynote speaker Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, webinar menghadirkan tiga orang pembicara: Soetrisno Bachir, Heppy Trenggono dan Penulis sendiri.
Mengukir taqdir yang dimaksudkan Soetrisno adalah merencanakan masa depan. Merencanakan disini bermakna ‘dinamis’ dalam memaknai takdir, bukan statis atau pasif. Dicontohkan, untuk menciptakan pengusaha baru, direncanakan dengan membuat kurikulum kewirausahaan di sekolah, pesantren, dan kampus. Kampus-kampus mengarahkan mahasiswa berwirasawasta, misalnya dengan mewajibkan magang, begitu argumennya.
Contoh lain, menggelorakan pilar ke 3 Muhammadiyah selain pendidikan dan kesehatan, yaitu ekonomi (Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan). Karena ekonomi ini perlu waktu, maka segala sesuatunya mesti direncanakan, tidak bisa instant. Perlu ‘mengukir takdir’ dengan membuat POAC (Planning, Organizing, Actuating, Controlling). Perlu perencanaan 1 tahun, 2 tahun, dan seterusnya, termasuk perencanaan sumberdaya manusianya.
Termasuk dalam mengukir taqdir ini adalah merencanakan pengembangan ekonomi syariah. Diantaranya dengan mendirikan koperasi syariah berbasis desa di Jawa Barat. Koperasi syariah yang digagasnya bersama Syafei Antonio itu bertujuan untuk memperjuangkan ekonomi rakyat bawah khususnya menyediakan modal bagi usaha mikro di desa-desa. Beliau juga mendirikan Manajer Investasi Syariah serta perusahaan crowdfunding syariah.
New Normal
New normal itu dimaknai New Life oleh Soetrisno Bachir. New life adalah peluang. Kalau sebelum pandemic pengusaha muslim kalah oleh keadaan, sekarang lebih equal. Yang diperlukan sekarang adalah menjahit simpul-simpul kewirausahaan dan ekonomi.
New Life banyak memunculkan kemudahan-kemudahan. Sekarang, mengumpulkan orang sangat mudah, membuat perencanaan bisnis atau marketing sangat mudah. Ini merupakan peluang dalam bisnis. Dicontohkan, Muhammadiyah akan masuk ke bisnis peternakan ayam. Lalu bagaimana perencanaannya? Lahan untuk areal peternakan akan menggunakan tanah wakaf Muhammadiyah. Modalnya, dikumpulkan dengan crowdfunding diantara warga Muhammadiyah sendiri. Polanya menjual saham satu lembar 2 juta rupiah. Hanya dengan 2 kali sholat jum’at, sudah terkumpul dana 20 miliar rupiah. Inilah yang disebut Heppy Trenggono, Close Loop Economy.
Close Loop Economy
Close Loop Economy adalah ekonomi yang berbasis komunitas. Misalnya, komunitas Muhammadiyah ada 40 juta, yang hampir sama dengan 2 kali penduduk Australia. Tentu ini prospek bisnis sangat besar. Belum lagi Nahdhatul Ulama (NU), Persatuan Islam (Persis), Persatuan Ummat Islam (PUI), Mathlaul Anwar, dan lain-lain.
Close Loop Economy ini dipopulerkan oleh Heppy Trenggono yang mendirikan Indonesian Islamic Business Forum (IIBF). Heppy sebagai pembicara kedua dalam webinar ini menjelaskan bahwa kita harus yakin dengan ekonomi syariah. Tidak boleh ada keraguan. Kalau kita sudah yakin dan tidak ragu, maka jalan keluar akan terbentang. Keyakinan ini harus dipegang kuat, seperti yakinnya Samanhudi pada tahun 1905. Ingin agar muslim menguasai ekonomi, Samanhudi mendiskusikan ini di Solo dan lahirlah Sarikat Dagang Islam (SDI). SDI kemudian menjadi Sarikat Islam pada tahun 1912, melahirkan tokoh-tokoh seperti HOS Tjokroaminoto yang merupakan salah satu guru Soekarno.
Apa kata kunci pengembangan ekonomi syariah di era new normal? Heppy mengatakan, kata kuncinya adalah KAFFAH. Kaffah disini bermakna totalitas, atau keseluruhan. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-qur’an ayat 208 yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syetan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu”. Kaffah disini juga bermakna tidak sekuler dalam berekonomi.
Menurut penulis, setidaknya ada 5 hal yang perlu diterapkan dalam menjalankan ekonomi secara kaffah ini. Pertama, tidak riba. Riba dalam segala bentuknya, apakah riba jual beli atau riba pinjaman, tidak diperkenankan. Kedua, tidak maysir. Hal ini bermakna tidak ada spekulasi dalam berbisnis. Semuanya terukur dan terencana. Ketiga, tidak zalim. Cara-cara berbisnis mestilah dilakukan dengan prinsip adil, tidak menzalimi dan tidak dizalimi. Keempat, tidak haram. Artinya, tidak ada produk haram atau jasa haram yang dibisniskan. Kelima, tidak gharar. Bermakna bahwa setiap transaksi bisnis mesti diketahui konsekuensinya. Jangan sampai konsekuensi bisnis tidak diketahui oleh kedua belah pihak.
Solusi ekonomi di era new normal ini sangat sederhana, yaitu Beli Indonesia. Gerakan Beli Indonesia ini digagas oleh Heppy Trenggono pada 27 Februari 2011 bersama 504 pengusaha dari 42 kota di Indonesia. Beli Indonesia adalah gerakan membangun karakter bangsa yang membela bangsa sendiri, yaitu sikap untuk membeli produk bukan dengan alasan lebih baik atau lebih murah, tetapi karena milik bangsa sendiri (Wikipedia).
Heppy meyakini solusi ekonomi itu tidak rumit, tetapi sederhana. Dia mengutip salah satu quotes Einstein yang artinya, “Jika Anda tidak dapat menjelaskan sesuatu hal secara sederhana, itu artinya Anda belum cukup paham”. Itulah yang dimaksudkannya dengan gerakan ‘beli Indonesia’ gerakan yang sederhana, jika semua menjalankannya, maka ekonomi ummat akan bangkit.
Ekonomi syariah = ekonomi sederhana
Penulis tampil sebagai pembicara ketiga dengan menegaskan bahwa ekonomi syariah itu adalah ekonomi sederhana. Tidak rumit-rumit. Misalnya, prinsip bagi hasil itu sederhana. Prinsip ini sudah dipraktekkan puluhan tahun di Indonesia. Ada yang namanya maroan, ketika hasil panen dibagi dua (separo). Ada yang namanya ‘mertelu’, ketika bagi hasil disepakati 1/3 dan 2/3. Bahkan menurut Thoby Mutis, mantan Rektor Universitas Trisakti, di Nusa Tenggara Timur yang mayoritas Kristen, sudah lama menerapkan bagi hasil dalam bertani maupun berternak.
3 pilar ekonomi syariah yang diambil dari Al-Qur’an, surat Al- Baqarah ayat 275-278 yaitu: Jual beli (dagang), tidak ada riba, dan zakat (infaq sedekah wakaf), juga sederhana. Sektor riel itu sederhana. Yang rumit itu sektor moneter. Apalagi produk-produk derivasi dalam keuangan. Rumit. Bahkan kadang-kadang saking canggihnya namanya, kita tak tahu transaksinya seperti apa. Tidak menggunakan riba itu sederhana. Yang rumit, riba itu sendiri. Oleh karena itu, syariah mengkonversi riba menjadi jual beli, sewa menyewa, bagi hasil, atau sedekah. Zakat juga sederhana. Kesimpulannya, ekonomi syariah itu sederhana.
Pada masa menjelang new normal ini, yang urgen adalah modal usaha bagi pengusaha mikro atau ultra mikro. Mereka ingin usaha, tapi modalnya tak ada. Mengharap dari lembaga keuangan pun agak sulit, karena lembaga keuangan mengalami kesulitan likuiditas. Solusi yang viable adalah zakat, sedekah, infaq dan wakaf. Inilah saatnya orang-orang kaya memberikan sebagian hartanya kepada yang memerlukan. Sulaiman al Rajhi menjadi contoh dalam hal ini. Dicatat oleh Majalah Forbes orang terkaya nomor 120 dunia, pada tahun 2011. Dengan kekayaan kurang lebih 120 triliun rupiah, Sulaiman mewakafkan setengah hartanya. Kalau penulis mengajukan pertanyaan: “Sudahkah pembaca memutuskan berapa persen harta yang mau diwakafkan?” Maka jawabannya mesti ‘diukir’. (*)
Penulis : H Hendri Tanjung
Diterbitkan : Majalah Peluang