Baru baru ini seorang ekonom mengkritik Bank syariah dengan mengatakan bahwa bank syariah yang ada sekarang tidak massif memberikan akad pembiayaan qardhul hasan, yaitu akad pinjaman kebaikan tanpa tambahan sedikitpun. Dia berpendapat, harusnya bank syariah itu lebih banyak menggunakan akad qardhul hasan agar mereka yang kurang beruntung bertambah baik ekonominya.
Pendapat itu harus dilihat dengan jernih dan paripurna. Kalau dilihat dari sisi emosional, memang seolah-olah ada benarnya. Karena, bank syariah sudah banyak dan ada dimana-mana. Tetapi mengapa orang miskin belum tersentuh oleh bank syariah ini? Mengapa mereka yang ingin meminjam ke bank syariah tanpa jaminan tidak dilayani di bank syariah? Dimana visi keummatannya? Begitulah komentar yang sering terlontar.
Jawabannya sederhana, karena bank syariah bukan lembaga sosial. Bank syariah adalah lembaga bisnis yang harus untung. Harus untung karena harus menggaji pegawainya, harus memberi bagi hasil kepada nasabah penabung, harus membayar biaya-biaya overhead, harus menanggung beban operasional, dan lain-lain. Oleh karena itu, bank syariah harus beroperasi dengan menerapkan manajemen resiko. Bagaimana caranya meminimalisasi resiko kerugian agar dapat memenuhi semua kewajiban bank dan di saat yang sama, dapat membukukan keuntungan. Kalau sudah seperti itu sifat bank syariah, siapa yang mengurusi mereka yang non bankable? Jawabannya adalah lembaga sosial seperti lembaga zakat.
Lembaga zakat di desain khusus dengan misi utama mengeluarkan orang dari kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat at Taubah ayat 60, dimana prioritas utama penggunaan dana zakat adalah untuk faqir miskin. Mereka orang miskin adalah mereka yang non bankable. Artinya, tidak memenuhi kriteria sebagai nasabah bank. Mereka yang perlu diberi modal untuk usaha, mereka yang perlu dibina untuk menjadi pengusaha yang benar. Jika ini dapat dilakukan dengan baik, maka orang miskin yang jumlahnya sekitar 30 juta di Indonesia dapat dientaskan.
Pertanyaannya, tidak adakah upaya bank syariah untuk mengentaskan kemiskinan? Jawabannya ADA. Bank syariah dalam prakteknya mempraktekkan akad murabahah. Akad murabaha ini adalah akad jual beli putus, dimana modal awal diberitahu kepada pembeli dan keuntungan yang diinginkan oleh bank disepakati dengan pembeli. Si pembeli hanya membayar sebagian harga di saat akad, dan menyicil sisanya dengan periode waktu yang disepakati. Ketika si pembeli menunggak pembayaran cicilan, dikenakan penalti untuk membayar sejumlah uang yang nantinya akan diserahkan kepada lembaga sosial, bukan dimiliki oleh bank. Uang inilah yang akan digunakan oleh bank syariah untuk membantu lembaga-lembaga sosial. Dari uang ini, bank syariah dapat memberikan ambulance kepada masyarakat yang membutuhkan dengan Cuma-Cuma (gratis). Artinya, lembaga keuangan syariah yang sifatnya bisnis, terintegrasi dengan lembaga keuangan syariah yang sifatnya sosial. Lembaga zakat juga lembaga keuangan syariah, namun sifatnya bukan bisnis. Salah kaprah jika lembaga zakat dijadikan lembaga bisnis.
Karena lembaga zakat adalah lembaga keuangan yang memperoleh dana yang tidak perlu dikembalikan ke si pemberi zakat, maka fokus yang penting daripada lembaga zakat adalah pemberdayaan ummat. Biarkan lembaga zakat memberdayakan ummat yang non-bankable tanpa motif keuntungan dan lembaga keuangan syariah membiayai ummat yang bankable dengan motif untung. Artinya, jika keduanya berjalan bersama-sama, maka pemberdayaan eonomi ummat akan lebih cepat.
Jika lembaga zakat tidak melakukan pemberdayaan ekonomi ummat di level grass root, maka lembaga keuangan mikro yang sifatnya mencari untung akan datang dan masuk ke pasar mereka yang non-bankable ini. Tampaknya hal ini sudah dilakukan oleh bank-bank besar yang notabene swasta, bahkan asing. Mereka mendirikan lembaga keuangan mikro dengan bunga yang sangat rendah. Hitungan mereka, meskipun bunganya sangat rendah, namun jika volumenya besar, maka keuntungannya juga akan besar. Lagi-lagi motifnya adalah keuntungan.
Sementara lembaga zakat, memberdayakan mereka yang non bankable dengan motif murni pemberdayaan ekonomi ummat tanpa mengharap keuntungan sedikitpun. Oleh karena itu, sudah saatnya lembaga zakat memfokuskan prioritasnya untuk memberdayakan ekonomi mereka yang non-bankable itu. Jangan sampai mereka yang non bankable digarap oleh lembaga keuangan mikro, dengan hasil, hutangnya makin lama makin besar, tanpa berhasil keluar dari perangkap hutangnya.
Kalau sudah itu yang terjadi, maka mereka yang non bankable itu akan terperangkap dalam jurang kemiskinan, dan sulit untuk keluar dari kemiskinannya itu. Sementara itu, pemilik saham bank swasta dan asing yang mengelola lembaga keuangan mikro itu, semakin kaya. Haruskah kita menyanyikan lagu Rhoma Irama dengan mengatakan “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin?”
—Wallahu A’lam—.
Penulis: H. Hendri Tanjung, Ph.D