Dalam suatu khutbah, sang khotib mengatakan :”Jika seseorang sudah membayar zakat, tetapi masih cinta pada harta, masih suka menumpuk-numpuk harta, masih menjadikan harta sebagai tujuan hidup, maka sesungguhnya orang itu belum berzakat.  Karena tujuan disyariatkannya zakat adalah untuk menghilangkan sifat kecintaan kepada harta”. 

Barangkali, sangat tepat apa yang diucapkan oleh khotib tersebut.  Jika dipikirkan, kenapa ada syariat zakat, yang dibayarkan dari harta yang dikumpulkan dengan cara yang halal?  Mengapa seseorang yang sudah bersusah payah mencari harta halal, kemudian diwajibkan mengeluarkan harta tersebut sebesar 2,5% untuk orang lain?  Mengapa seseorang yang pergi pagi-pagi dan pulang petang-petang mencari harta halal, harus mengeluarkan sebagian hartanya untuk mereka yang berkekurangan? 

Karena seseorang yang sudah mendapatkan sesuatu dengan susah payah, biasanya sangat mencintai apa yang diperolehnya dengan susah payah itu.  Misalnya, seseorang yang bersusah payah menjuarai sebuah turnamen, maka ketika juara, dia sangat cinta pada piala turnamen yang diperolehnya itu.   Piala itu akan dia jaga dengan baik, diletakkan di rumahnya di tempat yang tamu mudah melihatnya.  Begitupun dengan seseorang yang bersusah payah berkeliling dunia dengan sepeda motor, maka di negara mana saja yang dia singgahi, dia akan berusaha bertemu orang senegaranya untuk menceritakan perjuangannya mencapai tempat itu.  Bahkan ketika ekspedisi keliling dunia itu selesai, lalu dia berphoto dengan presiden atau menteri, maka dia akan menempatkan photonya di tempat yang para tamu mudah melihatnya.  Hal demikian wajar, karena hukum alam seperti itu, semakin susah seseorang memperoleh sesuatu, maka semakin cinta seseorang pada sesuatu itu.  Tetapi, Allah berkehendak lain dalam hal harta.  Harta yang diperoleh dengan cara yang mudah melalui menipu orang, maka zakatnya tidak diterima.  Orang yang memperoleh harta dengan cara yang mudah melalui korupsi, tidak akan diterima zakatnya.  Singkatnya,  harta yang diperoleh dengan cara yang mudah melalui cara-cara yang haram, tidak akan diterima zakatnya oleh Allah.  Apa pasal?  Karena

itu tujuan syariat zakat.  Tujuan syariat zakat adalah mengikis cinta harta pada diri manusia.  Kalau orang mendapatkan harta dengan korupsi, misalnya, maka sudah jelas dia sangat mencintai harta, yang dia peroleh dengan segala cara, meskipun cara haram.  Allah tidak berkenan dengan orang seperti itu. 

Nah, mari kita lihat diri kita masing-masing.  Apakah kita yang sudah membayar zakat, masih melakukan perhitungan ketika menolong orang dalam hal harta?  Apakah kita yang sudah membayar zakat tidak mau membantu teman yang tidak punya uang untuk makan sekalipun?  Apakah kita yang sudah membayar zakat, diam saja ketika tetangga kelaparan?  Apakah kita yang sudah membayar zakat diam saja ketika anak tetangga putus sekolah karena tidak ada biaya?   Itu dalam konteks bertetangga.

Dalam konteks bermasyarakat, apakah kita diam saja ketika sebagian masyarakat sekitar gunung sinabung, gunung kelud, dan gunung merapi yang tertimpa musibah meminta pertolongan, namun kita tidak menolong dengan harta kita?  Apakah kita diam saja ketika korban banjir memohon bantuan, namun kita tidak berikan?  Apakah kita diam saja ketika melihat pengungsi di pengungsian stress dengan keadaannya?  Tidakkah kita berbuat sesuatu untuk menolongnya? Dari sebagian kecil harta kita? 

Jika jawabannya YA, berarti kita belum ber-zakat.  Kita hanya baru melaksanakan syariat zakat, tapi belum memahami dan mengamalkan tujuan disyariatkannya zakat.  Sekali lagi, Zakat disyariatkan untuk mengikis kecintaan manusia pada harta.  Jika harta sudah tidak dicintai, maka seseorang akan sangat mudah mengeluarkan hartanya untuk membantu orang lain.  Jika harta sudah tidak dihati, jika harta sudah di tangan, maka akan mudah tangan memberikan harta pada orang yang membutuhkan.  Disinilah rahasia dibalik syariat zakat. 

Orang yang sudah Ber-zakat, akan sangat mudah mengeluarkan infaq dan sedekahnya.  Akan cepat terenyuh hatinya melihat orang yang berkekurangan.  Akan ringan tangannya menolong orang yang membutuhkan pertolongan.  Akan ringan kakinya melangkah ke tempat pengungsian.  Namun, dengan niat ikhlas karena Allah, bukan karena niat lainnya.  Bukan karena niat agar dilihat orang.  Bukan karena niat agar popularitas dirinya meningkat.  Bukan karena niat agar partai politik yang dia menjadi caleg dicoblos orang.  Disinilah pentingnya menselaraskan perbuatan dengan niat. 

Niat yang baik akan menghasilkan balasan yang baik.  Tapi, niat yang tidak baik, meskipun mengerjakan perbuatan yang baik, akan Allah masukkan ke neraka.  Maukah seseorang yang sudah membayar zakat, yang sudah berletih-letih pergi ke tempat pengungsian, yang sudah basah-basah membantu korban kebanjiran, hanya karena bukan Allah yang menjadi tujuan, kemudian ke neraka dicampakkan,??? Naudzubillahi Min zalika

—Wallahu A’lam—

Penulis : H. Hendri Tanjung, Ph.D

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *