Pada tanggal 17 februari 2019, terlibat pembicaraan tentang ekonomi syariah antara penulis dengan salah satu direktur Bank Syariah di lounge bandara Soekarno-Hatta. Penulis memulai diskusi dengan mengatakan bahwa Indonesia perlu bank syariah besar, dimana salah satu upayanya adalah menempatkan dana pemerintah (APBN) di bank syariah. Sang direktur langsung menyela dengan mengatakan bahwa itu saja tidak cukup. Diperlukan yang lebih dari itu. Beliau mengatakan seperti ini:
”Harus ada yang mentrigger pertumbuhan ekonomi syariah yaitu yang paling kuat dan memiliki political will adalah pemerintah, karena kalau swasta nggak mungkin. Apabila penggunaan anggaran negara sebagian (relatif berapa %) atau disebut juga belanja negara harus ditransaksikan secara syariah, maka ini akan memberi akselerasi yang sangat luar biasa bagi pertumbuhan perekonomian syariah dan perbankan syariah. Setiap satuan kerja (satker) kementerian dan departemen diwajibkan setiap penggunaan atau belanjanya seperti: pengadaan barang dan jasa menggunakan murabaha; pembangunan proyek-proyek jembatan, pelabuhan, jalan tol menggunakan musyarakah atau mudharabah muqayyadah ; dan banyak skim syariah lainnya yang bisa diterapkan. Apalagi saat ini pemerintah sudah menggunakan instrument sukuk untuk membiayai APBN dalam bentuk Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)”.
Memperhatikan argument sang direktur, ada beberapa hal yang dapat diambil. Pertama, perlu aturan untuk menggerakkan bisnis syariah, yaitu aturan dari pemerintah. Kedua, dengan diimplementasikannya akad-akad syariah dalam belanja APBN, maka akan terjadi sosialisasi dan literasi bisnis syariah ke pengusaha sector riil. Ketiga, banyak variasi kontrak yang dapat dilakukan dengan akad-akad syariah. Keempat, sebagian sumber APBN kita sudah syariah.
Sebagaimana diketahui, yang membuat APBN adalah kementerian keuangan. Bappenas membuat Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dimana nantinya, bahan APBN ini juga diambil dari perencanaan RKP.
Penulis melihat, terdapat momentum untuk menerapkan syariah di sisi belanja APBN. Hal ini disebabkan bahwa sebagian sisi pendapatan APBN sudah syariah, yaitu sukuk. Sudah seharusnya pendapatan dari sukuk ini dibelanjakan dengan prinsip syariah juga. Pada umumnya, belanja Kementerian/Lembaga transaksinya jual beli barang dan jasa. Jual beli ini harus berdasarkan syariah. Untuk itu, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sudah mengeluarkan fatwa terkait jual beli ini dengan fatwa nomor 110/DSN-MUI/IX/2017. Fatwa ini berlaku sebagai fatwa induk untuk jual beli. Selain itu, juga dikeluarkan fatwa nomor 111/DSN-MUI/IX/2017 tentang jual beli murabahah.
Dalam fatwa nomor 110 itu, dijelaskan sepuluh jenis jual beli, yaitu: bai’ al musawwamah (jual beli biasa), bai’ al amanah (jual beli yang modalnya wajib disampaikan penjual kepada pembeli), bai’ al muzayyadah (jual beli dengan harga paling tinggi yang penentuan harga tsb dilakukan secara tawar menawar), bai’ al-munaqashah (jual beli dengan harga paling rendah yang penentuan harga tsb dilakukan secara tawar menawar), bai’ al hal (jual beli tunai), bai’ al-muajjal (jual beli yang pembayaran harganya dilakukan secara tangguh), bai’ at taqsith (jual beli secara angsur/bertahap), bai’ salam (jual beli dalam bentuk pemesanan atas suatu barang dengan kriteria tertentu yang harganya wajib dibayar tunai pada saat akad), bai’ istisna ( jual beli dalam bentuk pemesanan atas suatu barang dengan kriteria tertentu yang pembayaran harganya berdasarkan kesepakatan antara pemesan dan penjual), bai’ murabaha (jual beli suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba).
Di dalam fatwa nomor 111 tentang murabaha, dijelaskan bahwa akad murabaha adalah akad jual beli suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba. Harga tersebut harus dinyatakan secara pasti pada saat akad, baik ditentukan mealui tawar menawar, lelang, maupun tender. Pembayaran harga itu boleh dilakukan secara tunai, tangguh, bertahap/cicil, dan dalam kondisi tertentu boleh dengan cara perjumpaan utang sesuai dengan kesepakatan.
Jika pendapatan dari sukuk itu kemudian dibelanjakan dengan akad-akad jual beli diatas, maka pihak pengusaha akan tahu dan mengerti dengan akad-akad syariah ini. Artinya, literasi dan sosialisasi bisnis syariah itu terjadi. Dengan menerapkan syariah pada akad-akad jual beli, akan tercipta keadilan dalam jual beli.
Penulis jadi ingat ketika ngobrol dengan salah seorang pengusaha konstruksi di akhir bulan januari di kantornya Cibubur, bahwa sejatinya, pengusaha konstruksi sangat menginginkan melakukan transaksi dengan bank syariah, misalnya bank garansinya bank syariah. Tapi, hal ini tidak diperkenankan. Sekarang ini, BUMN pembayarannya menggunakan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN)/Supply Chain Financing (SCF) semacam LC dimana bank nya adalah bank konvensional. Jika aturan ini diubah (misalnya oleh kementerian keuangan dan kementerian BUMN), dengan aturan boleh saja bank garansinya bank syariah, maka bisnis syariah akan semakin besar.
Faktanya jelas, ada kebutuhan di kalangan pebisnis untuk menerapkan prinsip syariah dalam pembelanjaan APBN. Fatwa DSN-MUI pun sudah ada. Ditambah dukungan dari perbankan syariah. Artinya, ada kebutuhan untuk menerapkan prinsip syariah di sisi anggaran belanja pada APBN.
Ada 2 hal penting dalam APBN, yaitu pendapatan dan Belanja. Pendapatan merujuk pada sumber pembiayaan APBN. Belanja merujuk pada pengeluaran atau pengalokasian dana APBN. Jika pembiayaan APBN sudah sebagiannya syariah lewat sukuk, lalu belanjapun menggunakan akad-akad syariah, maka APBN tersebut sebagian sudah syariah.
Untuk memperbesar bisnis syariah, pemerintah tidak boleh tinggal diam. Pemerintah harus proaktif dengan political-will nya. Pemerintah dalam hal ini adalah presiden dan menteri-menterinya. Jika presiden mengeluarkan inpres atau perpres agar penggunaan belanja APBN sebagiannya dengan akad-akad syariah, maka bisnis dan ekonomi syariah akan besar. Selama ini, syariah masih berkutat di sektor keuangan dan sektor ZISWAF (zakat, infaq, sedekah dan wakaf). Padahal pilar yang sangat penting dan sangat dominan adalah pilar bisnis (sector riil). Jika bisnis (sector rill) di drive dengan akad-akad syariah, tidak hanya pertumbuhan ekonomi yang terjadi, akan tetapi keberkahan juga akan muncul. Bukankah dalam hidup ini variable ‘berkah’ yang dicari? Berkah umur, berkar rezeki, berkah ilmu, berkah harta, berkah keluarga, berkah tubuh, berkah masyarakat serta berkah bangsa dan negara. Dengan melaksanakan prinsip syariah yang berkeadilan di sector riil ini, dimana keadilan itu dekat dengan taqwa, penulis yakin, kerberkahan akan muncul, tidak hanya dari bumi, tapi juga dari langit. Sebagaimana yang Allah jelaskan dalam surat al A’raf 7, ayat 96 yang berbunyi: “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan”.
Penulis jadi ingat lima tahun yang lalu diberi hadiah oleh seorang pegawai kementerian keuangan sebuah buku berjudul “Implementasi APBN Syariah” untuk dikomentari. Beliau kemudian menulis disertasi doktornya dengan tema ‘implementasi APBN Syariah’ dan meminta penulis untuk membimbing disertasinya. Beliau membayangkan bahwa kajian ini akan memberi dampak yang signifikan bagi perkembangan ilmu keuangan negara. Sayangnya, ditengah-tengah proses menulis disertasi, Allah memanggilnya keharibaan-Nya. Penulis melayat jenazahnya dan menghantarkannya ke kubur. Setelah prosesi penguburan, istrinya berpesan kepada penulis, bahwa wasiat dari almarhum adalah ada yang meneruskan disertasinya tersebut. Semoga itu ada diantara pembaca.
Diterbitkan : Majalah Peluang