Maukah pembaca mencabut gigi kepada dokter gigi yang sudah puluhan tahun tidak berprofesi sebagai dokter gigi? Begitulah permisalan yang diuangkapkan oleh Mochtar Azis dari kementerian tenaga kerja ketika menjelaskan pentingnya sertifikasi profesi di hotel Ashley, Jakarta 10 Juli lalu. Meskipun seseorang memiliki ijazah dan gelar sebagai dokter gigi, namun jika sudah lama tidak berpraktek, dianggap tidak kompeten dalam profesinya, lanjutnya. Menilik pada penjelasan beliau, maka sertifikasi profesi yang menunjukkan bahwa seseorang itu kompeten di dalam profesinya, menjadi suatu keharusan dan juga kebutuhan.
Di Indonesia, banyak sekali profesi yang sudah disertifikasi. Sebutlah profesi dosen yang kalau sudah dinyatakan lulus sertifikasi pendidik untuk dosen, akan dinyatakan sebagai Dosen Profesional. Begitupun profesi penulis buku, jika sudah lulus sertifikasi penulis, akan dinyatakan sebagai penulis profesional.
Sebagai dewan pengawas syariah (DPS) di lembaga Keuangan Syariah, misalnya, maka kompetensi harus dimiliki seorang DPS setidaknya ada 6: (1) menginventarisasi bahan pengawasan syariah sesuai tugasnya, (2) melakukan pengawasan terhadap akta perjanjian, (3) melakukan pengawasan terhadap prosedur produk dan/atau layanan baru, (4) melakukan pengawasan terhadap pemasaran produk, (5), melakukan pengawasan terhadap laporan keuangan, dan (6) menyusun opini syariah.
Sertifikasi yang lain misalnya, sertifikasi penulisan buku non fiksi. Sertifikasi penulis ini menghendaki setidaknya 6 kompetensi yang diperlukan, yaitu: (1) Melakukan penelusuran informasi sederhana, (2) Melakukan tahapan pramenulis naskah, (3) Melakukan tahapan menulis naskah, (4) Kemampuan tahapan pasca menulis naskah, (5) Mengoperasikan Personal Computer (PC) yang berdiri sendiri (stand alone), dan (6) mengikuti prosedur K3 (Kesehatan, Keselamatan dan keamanan kerja).
Untuk sertifikasi manajer koperasi, juga diperlukan beberapa kompetensi. Adapun kompetensi yang diminta, setidaknya ada 11 yaitu: (1) melakukan prinsip-prinsip pengelolaan organisasi dan manajemen koperasi jasa keuangan, (2) menyusun perencanaan strategis, (3) memberikan motivasi, (4) melaksanakan pengendalian intern, (5) melakukan kontrak pinjaman/pembiayaan dan pengikatan agunan, (6) menilai tingkat kesehatan, (7) menganalisis program kerja dan rencana anggaran pendapatan dan biaya, (8) mengamankan aset dan infrastruktur, (9) melakukan kemitraan, (10) melakukan negosiasi, dan (11) menyajikan presentasi.
Bagi para trainer, juga ada sertifikasi metodologi pelatihan. Dimana, bagi seorang trainer, setidaknya ada 7 kompetensi yang harus dimiliki, yaitu : (1) mengidentifikasi dan menganalisis standar kompetensi, (2) merumuskan tujuan, prasyarat, dan materi pelatihan, (3) merancang strategi dan penilaian pembelajaran, (4) merancang pembuatan sarana pendukung pembelajaran, (5) merancang dan menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif, (6) merencanakan penyajian materi pembelajaran, dan (7) memfasilitasi proses pembelajaran.
Di Indonesia, otoritas pemberi sertifikasi profesi ada di BNSP; badan independen yang bertanggungjawab kepada presiden yang memiliki kewenangan sebagai otoritas sertifikasi personil dan bertugas melaksanakan sertifikasi kompetensi profesi bagi tenaga kerja. Dasar pembentukan BNSP adalah peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2004.
h
Visi BNSP adalah menjadi lembaga otoritas sertifikasi profesi yang independen dan terpercaya dalam menjamin kompetensi tenaga kerja di dalam maupun di luar negeri. Melihat dari visi di atas, maka tujuan BNSP begitu mulia, yaitu mengangkat tenaga kerja Indonesia, tidak hanya mendapat pengakuan di dalam negeri, tapi juga di dunia Internasional. Hal ini ditunjukkan dengan sertifikat kompetensi yang dikeluarkan dalam 2 bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris.
Berdasarkan PP no. 10 tahun 2018 tentang BNSP, anggotanya hanya 7 orang. Tugasnya melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja untuk berbagai profesi di Indonesia, dan memberi lisensi kepada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja.
Dalam pemberian lisensi, BNSP mengklasifikasi jenis LSP menjadi LSP pihak ke satu, LSP pihak kedua, dan LSP pihak ketiga. Saat ini, sudah terbentuk 1525 LSP di Indonesia
LSP pihak kesatu ada 2: LSP pihak kesatu industri dan LSP pihak kesatu lembaga pendidikan dan/atau pelatihan. LSP pihak kesatu industri adalah LSP yang didirikan oleh industri atau instansi dengan tujuan utama melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja terhadap sumber daya manusia (SDM) lembaga induknya. LSP pihak kesatu lembaga pendidikan dan/atau pelatihan adalah LSP yang didirikan oleh lembaga pendidikan dan/atau pelatihan dengan tujuan utama melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja terhadap peserta pendidikan/pelatihan berbasis kompetensi dan/atau SDM dari jejaring kerja lembaga induknya. Biasanya LSP ini untuk advokasi pendidikan atau industri. Saat ini, LSP pihak kesatu berjumlah 1220 LSP, di antaranya adalah LSP SMKN1 Jogonalan Klaten Jawa tengah, LSP Perkereta apian Indonesia Madiun Jawa timur, dan LSP Balai Diklat Industri Jakarta.
LSP pihak kedua adalah LSP yang didirikan oleh industri atau instansi dengan tujuan utama melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja bagi SDM lembaga induknya, SDM dari pemasoknya, dan/atau SDM jejaring kerjanya. Misalnya, Telkom mewajibkan semua pemasoknya memiliki sertifikasi tertentu. Saat ini LSP pihak kedua sudah ada 65 LSP, di antaranya LSP BBPLK Bekasi, LSP BLK Padang, dan LSP Badak LNG Bontang Kalimantan Timur.
LSP pihak ketiga adalah LSP yang didirikan oleh asosiasi industridan/atau asosiasi profesi dengan tujuan melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja untuk sektor dan/atau profesi tertentu. LSP jenis ini sifatnya publik, harus berbadan hukum, bisa Perseroan Terbatas (PT) atau yayasan. Saat ini sudah ada 240 LSP, di antaranya LSP Administrasi Perkantoran Indonesia di Bandung, LSP Keuangan Syariah Jakarta Selatan, dan LSP Perkoperasian Indonesia Jakarta.
Terkait dengan profesi Nazir (pengelola wakaf), maka Kementerian Agama menginisiasi penyusunan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bagi pengelola wakaf, yang dimulai dengan melakukan pelatihan bagi tim perumus, verifikator, dan komite standar SKKNI pengelola wakaf. Tim diketuai oleh Kemenag dengan anggota dari Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan asosiasi wakaf (FWP) untuk bersama-sama membentuknya.
Selanjutnya, Nur S Buchori, anggota Badan Wakaf Indonesia yang juga salah satu tim perumus, mencoba membuat SKKNI pengelola wakaf dengan 9 kompetensi sbb: (1) Menerapkan Peraturan dan Undang-undang Perwakafan, (2) menerapkan tata kelola organisasi lembaga nazir, (3) Menerapkan manajemen kepemimpinan lembaga nazir, (4) melaksanakan pengelolaan aset wakaf secara produktif, (5) menerapkan manajemen resiko operasional, kepatuhan, hukum dan investasi aset wakaf, (6) melakukan pemantauan, pengawasan terhadap pengelolaan dan pengembangan aset wakaf, (7) menerapkan sistem pelaporan dan akuntansi wakaf, (8) menjalankan program-program mauquf alaih secara berkelanjutan, dan (9) menyusun rencana kerja dan anggaran lembaga nazir. Usulan ini selanjutnya akan dibahas oleh Tim perumus dan antinya akan menghasilkan kesepakatan kompetensi apa yang diperlukan oleh pengelola wakaf, lengkap dengan deskripsinya.
Menjawab judul tulisan ini yang berupa pertanyaan, ‘Sertifikasi Profesi, Haruskah?’maka jawabannya HARUS, karena peraturannya menghendaki demikian. Tetapi, jauh lebih penting dari sertifikasi, adalah pengakuan dari masyarakat akan kekompetenan seseorang. Penulis pernah berobat gigi ke tukang gigi yang bukan dokter gigi. Namun yang mencengangkan adalah, pasiennya ramai sekali, bahkan harus ambil nomor terlebih dahulu untuk dapat antrian. Jika pertanyaannya, mana yang lebih penting, pengakuan sertifikat atau pengakuan masyarakat? Penulis yakin, pembaca punya jawabannya.
Penulis adalah Angota Badan Wakaf Indonesia (BWI), Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor, dan ketua pengawas syariah Kopsyah Benteng Mikro Indonesia.
Penulis : H. Hendri Tanjung, Ph.D
Diterbitkan : Majalah peluang
Kedua sangat penting pengakuan sertifikasi dan pengakuan masyarakat pengakuan masyarakat agak sulit di dapat bisa didapat ketika seseorang banyak pengalaman mempunyai jam terbang banyak dan tidak semua orang mempunyai kesempatan itu pengakuan sertifikasi krn sudah tuntutan saat ini menjadi suatu keharusan namun harus di barengi juga dengan banyaknya latihan dan pengalaman agar lebih maksimal lagi. Seseorang yang sudah mendapat pengakuan dr masyarakat dilegalkan lagi dengan pengakuan sertifikasi tentunya lebih menjamin lagi begitu juga sebaliknya seseorang yg mempunyai sertifikasi profesi lebih kompeten dan terukur dapat memecahkan persoalan2 dengan solusi yg tepat dalam melaksanakan tugas nya
Sertifikasi Profesi,…
Harus
Sebagai ketentuan yang diatur oleh Undang – undang di Negara kita.
Sebagai Jaminan pengakuan untuk Publik atau masyarakat
Menunjukkan bahwa profesi tersebut dapat dipertanggungjawabkan