Oleh: Hendri Tanjung, Ph.D.
Dalam harian Republika senin 3 maret 2014, dalam tulisannya berjudul “Elitisasi Ekonomi Syariah”, Pakkana menulis “Banyak persoalan ekonomi di tingkat grass- root luput dari pengamatan dan aksi affirmatif dari penggiat ekonomi syariah. Persoalan advokasi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat vulnerable misalnya, tampak minimalis. Kendati ada gerakan pemberdayaan, terlihat lebih banyak dari kelompok keswadayaan yang berlabel zakat, infak dan sedekah (ZIS). Tapi, itupun belum masif dibanding gerakan industri keuangan syariah yang bergerak elitis dan “beternak uang”. Demikian juga di tingkat discourse kebijakan ekonomi. Tatkala hangat perdebatan tentang pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM), kedaulatan pangan, kedaulatan energi, eksploitasi sumberdaya alam yang berlebih, rekolonialisasi ekonomi, kesenjangan ekonomi yang makin menganga, desentralisasi fiskal, dan lainnya, tampaknya kelompok pegiat ekonomi syariah kerap kurang populer memperlihatkan coraknya. Kalaupun terlibat, lebih banyak berada pada tataran wacana dan ideologi eksklusif-ekstrem yang rapuh kerangka filosofisnya”.
Dari tulisan tersebut, setidaknya ada 3 persoalan ayang ingin diangkat Pakkana sekaligus kritik terhadap perkembangan ekonomi syariah di tanah air. Pertama, adalah ekonomi syariah terjebak kepada keuangan syariah yang menurut beliau cenderung kepada beternak uang, kedua, persoalan zakat yang belum masif seperti masifnya gerakan industri keuangan syariah, dan ketiga, persoalan sektor riil, terutama ekonomi sumberdaya alam, yang masih luput dari pegiat ekonomi syariah. Mari kita lihat persoalan tersebut satu persatu.
Pertama, ekonomi syariah terjebak kepada keuangan syariah. Perlu dipahami, pintu masuk ekonomi syariah adalah lembaga keuangan syariah. Dan dari seluruh lembaga keuangan, bank dulu yang mendapat prioritas untuk disyariahkan, mengapa? Karena lebih dari 90 persen uang beredar adanya di bank. Jadi, kalau bank berhasil disyariahkan, maka upaya untuk mensyariahkan ekonomi akan lebih cepat. Hanya saja yang harus kita pahami adalah, bank syariah muncul dan berusaha berdiri tegak di tengah-tengah derasnya bank berbasis riba.
Nah, dalam perjalanannya, menjalankan bank syariah ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan dalam situasi hegemoni bank riba. Kita tidak bisa mengatakan, “Konsep fiqh muamalahnya seperti ini, lalu terapkan saja di bank syariah, Selesai”. Ternyata tidak sesederhana itu. Kalau konsep fiqh itu diterapkan, maka bank syariah hari ini dibuka, besok akan tutup. Mengapa? Karena prinsip bagi hasil yang diterapkan di bank syariah akan menimbulkan konsekuensi berkurangnya uang nasabah di bank jika usaha yang dijalankan bank mengalami kerugian. Apakah masyarakat siap jika uangnya yang disimpan di bank berkurang? Tentu tidak. Oleh karena itu, dicarilah akad yang berbasis jual beli, meskipun mengakibatkan hutang, seperti murabahah, karena keutungannya jelas, meskipun bukan tidak mengandung resiko ketika gagal membayar cicilannya.
Nah, ketika bank syariah masif mempraktekkan murabaha ini, maka konsekuensinya memang seolah olah tidak berbeda dengan bank konvensional, karena sama sama meninggalkan hutang yang harus dibayar dengan pendapatan yang sifatnya fix. Padahal, keduanya sangat berbeda. Dalam murabaha, terjadi jual beli putus, dimana harga sudah pasti, kemudian tinggal di cicil. Jika terjadi menunggak, klien tidak dikenakan tambahan yang harus dibayarkan seperti di bank konvensional, tetapi membayar penalti yang nantinya akan diserahkan ke lembaga sosial seperti lembaga zakat infak dan sedekah (ZIS). Jadi, tidak ada beternak uang. Beternak uang diartikan sebagai uang yang menghasilkan uang dengan berjalannya waktu. Jika menunda pembayaran, dikenakan tambahan (riba) yang berlipat-lipat. Beternak uang diartikan dari „tidak ada menjadi ada‟. Dalam murabaha tidak ada beternak uang. Ketika menunda pembayaran, penalti akan dikenakan kepada klien yang nantinya diserahkan kepada lembaga zakat, bukan diambil dan dimiliki oleh bank. Cara inipun diambil sebagai upaya agar klien membayar cicilannya tepat waktu. Jadi, klaim bahwa bank syariah beternak uang sama sekali salah. Namun, murabaha yang mendominasi pembiayaan syariah juga tidak dapat dibiarkan terus menerus. Harus beralih ke pembiayaan bagi hasil. Ke arah inilah kita semua menuju, yang saya istilahkan “towards islamic financial system”. Dari uraian diatas, sangat diperlukan integrasi lembaga keuangan syariah dengan lembaga zakat. Semakin banyak yang menunggak, semakin besar perolehan lembaga zakat. Besarnya perolehan lembaga zakat ini dapat digunakan untuk kegiatan sosial seperti membeli ambulance, dan lain-lain.
Lembaga keuangan syariah dalam hal ini bank syariah harus untung, karena ini adalah lembaga bisnis, bukan lembaga sosial. Lembaga bisnis yang harus menggaji karyawannya, membayar biaya-biaya overhead, operasional, dll.Lembaga bisnis yang harus berkembang, bukan stagnan, apalagi mati. Oleh karena itu, bank syariah diharuskan untuk untung, karena sifatnya bisnis. Ketika dihadapkan dengan harus untung dan membayar semua biaya-biaya, maka kerap margin yang diterapkan di bank syariah, terkesan lebih mahal dari bank konvensional. Namun, ini sekali lagi adalah masalah economic of scale. Efisiensi bank syariah dengan aset yang lebih besar akan lebih tinggi daripada bank yang asetnya lebih kecil (lihat hasil penelitian Endri, Tazkia, 2011). Modal bank syariah belum cukup besar untuk menetapkan margin yang kecil. Oleh karena itu, strategi yang dilakukan adalah memperbesar kue market share perbankan syariah seperti strategi yang ditempuh oleh Bank Indonesia selama ini.
Kedua, persoalan zakat yang belum masif seperti masifnya gerakan industri keuangan syariah. Ini diakibatkan sedikitnya perolehan zakat di tanah air. Dari potensi 217 triliun hitungan BAZNAS (2012), maka hanya 2,3 triliun yang berhasil dihimpun BAZNAS dan semua BAZ/LAZ se-Indonesia tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa perolehan zakat belum populer di tengah-tengah masyarakat. Padahal, di pakistan, negara sudah mewajibkan setiap 1 ramadhan semua tabungan di seluruh bank yang melebihi nisab zakat, dipotong 2,5% mau tidak mau, suka tidak suka. Ini menunjukkan peran pemerintah dan pembuat undang-undang sangat besar. Jika keberpihakan pembuat undang-undang (legislatif) sangat tinggi, maka niscaya perolehan zakat akan sangat besar. Nah, disinilah urgensi zakat. Jika dana zakat besar, maka pengurangan kemiskinan akan masif. Lembaga zakat akan menggerakkan ekonomi informal yang non-bankable. Lembaga zakat akan menggerakkan ekonomi di level grass-root. Biarkan bank syariah mengambil pasar mereka yang bankable, dan biarkan lembaga zakat menggarap mereka yang non- bankable. Jika keduanya berjalan dengan baik, niscaya ekonomi akan lebih baik.
Ketiga, persoalan sektor riil, terutama ekonomi sumberdaya alam, yang masih luput dari pegiat ekonomi syariah. Sebenarnya persoalan sektor riil ini tidak dapat dipisahkan dari lembaga keuangan bebas riba dan sistem zakat. Ketiga pilar ini merupakan pilar ekonomi Islam yang tercantum dalam surat Al Baqarah ayat 275-277.
Sistem riba, akan memicu eksploitasi sumberdaya alam yang besar. Untuk menutup biaya bunga bank dan mengejar keuntungan yang ditargetkan, maka pabrik akan memproduksi output yang lebih besar daripada sistem non-bunga. Untuk memproduksi output yang lebih banyak, diperlukan sumberdaya bahan baku yang lebih banyak. Jika bahan bakunya adalah hasil hutan, maka akan terjadi eksploitasi hutan.
Sistem zakat jika dikenakan kepada sumberdaya alam, yang besarnya 20% (rikaz) seperti zakat barang pertambangan, seperti minyak dan gas bumi, emas, perak, nikel, dan lain-lain, maka zakat yang diperoleh niscaya dapat menutupi belanja negara di sektor-sektor riil seperti pendidikan, infrastruktur, dan lain-lain. Agar pemerintah dapat memungut zakatnya, maka sumberdaya alam tersebut harus dikelola pemerintah, bukan oleh asing. Menurut Abraham Samad ketua KPK, tidak kurang dari 7200 triliun rupiah setiap tahunnya dapat diperoleh negara dari sektor pertambangan seperti minyak, gas, batubara, tembaga, emas, perak, nikel dan lain lain.
Artinya, untuk menunjang sektor riil, sangat mutlak adanya lembaga keuangan bebas riba, dan sistem zakat yang baik. Tampaknya, sudah ada beberapa pegiat syariah yang berpikir kearah itu, tetapi karena tema-tema yang diangkat dalam seminar- seminar ekonomi syariah selama ini masih bertema keuangan syariah, maka ide-ide penguatan sektor riil belum terlalu banyak digali. Namun, Alhamdulillah, beberapa bulan terakhir, seminar-seminar ekonomi islam sudah banyak mengangkat tema sektor riil seperti pertanian, misalnya talkshow ekonomi islam di STAIN Palopo 14
Februari 2014 yang mengangkat tema “ Menggagas Sektor Agribisnis syariah, menuju masyarakat sejahtera”, dan di Universitas Negeri Malang 27 Maret 2014 dengan tema “Agaria untuk kemandirian ekonomi Indonesia”.
Yang lebih penting lagi, adalah keberpihakan pemerintah pada rakyat dengan melakukan distribusi kekayaan kepada rakyat. Jangan kekayaan negara ini hanya berputar di tangan segelintir konglomerat saja. Jangan sampai konglomerat menguasai dari mulai hulu sampai hilir. Jangan sampai sumber-sumber kekayaan negara diambil alih oleh asing. Harusnya sumber-sumber tersebut dikelola oleh negara. Hal yang dapat dilakukan di sektor kehutanan, misalnya, adalah membuat Hutan tanaman rakyat. Jika Rakyat mengelola hutan seluas 5 juta hektar saja, maka akan menghasilkan 50 juta ton pulp. Jika harga pulp perton adalah US 500 dollar, maka akan tercipta penghasilan rakyat sebesar US 25 milyar dollar atau lebih dari 250 triliun rupiah. Artinya, 10,2 juta rakyat miskin yang di tinggal di hutan atau sekitar hutan, dapat dikeluarkan dari kemiskinannya.
Kesimpulannya, memahami ekonomi syariah tidak dapat dilakukan hanya pada semata-mata kinerja keuangan syariah, tapi harus holistik meliputi sektor riil dan penegakan sistem zakat. Kita semua menjadi penyebab ekonomi seperti sekarang ini, namun di saat yang sama, kita semua juga menjadi penyelamat ekonomi untuk Indonesia yang lebih baik.
Oleh karena itu, sebagai solusi, setidaknya ada lima hal yang dapat dilakukan. Pertama, mari kita edukasi masyarakat untuk menyimpan uangnya di Bank Syariah, dengan harapan bank syariah akan mencapai economic of scale. kedua, mendorong bank untuk menerapkan sistem bagi hasil, dan pada saat yang sama, menggalakkan kejujuran di kalangan pebisnis karena kejujuran adalah kunci dalam pelaksanaan akad bagi hasil. Ketiga, mendorong individu-individu muslim untuk membayar zakatnya, Keempat mendorong lembaga legislatif untuk merumuskan undang-undang terkait ekonomi yang pro kepada kesejahteraan rakyat. Kelima, mendorong pemerintah untuk menguasai kembali sumber-sumber kekayaan negara serta mengelolanya dan melakukan distribusi kekayaan kepada rakyat melalui program-programnya. Wallahu A’lam.
Sumber: http://www.iaei-pusat.org
Terimakasih Ustadz sudah berbagi, barakallah…
alhamdulillah semoga bermanfaatya
Trimakasih ustadz sudah berbagi, barakallah..