Dalam ujian terbuka promosi Doktor Ekonomi Universitas Trisakti, 22 Januari 2019 atas nama promovenda Nirdukita Ratnawati, salah seorang penguji bertanya “ Apakah promovenda yakin jika market share bank syariah besar, maka instrument moneter syariah akan efektif?” Dengan mantap dijawab ‘Yakin’. Memang dalam disertasi yang dipertahankan berjudul ‘Integrasi sektor moneter-riil berdasarkan metodologi Tauhidi String Relation (TSR)’ ditemukan bahwa selama ini, instrument moneter syariah tidak efektif. Artinya, peran SBIS tidak terlalu mempengaruhi bank syariah untuk menjadikannya acuan dalam menetapkan bagi hasil. Dalam bahasa akademisnya, kebijakan moneter syariah yang diproksi dengan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) belum efektif ditransmisikan ke sektor riil. Hal ini disebabkan masih kecilnya pangsa pasar bank syariah yang hanya sekitar 5 persen dari bank konvensional. Oleh karena itu, pertanyaan besarnya : upaya apa yang dapat dilakukan untuk memperbesar market share bank syariah?
Sekedar perbandingan, market share perbankan syariah menurut tim riset CNBC, 3 Januari 2019, Indonesia adalah 5,3 persen dari 222 juta penduduk muslim. Sementara itu, Bangladesh 14,8 persen dari 222 juta penduduk muslimnya, dan Pakistan 11,4 persen dari 186 juta penduduk muslimnya. Yang hampir mirip dengan Indonesia adalah Turki, yaitu 5,6 persen dari 77 juta penduduk muslimnya. Yang paling besar market share perbankan syariahnya adalah Malaysia, dengan angka 27 persen dari 19 juta penduduk muslimnya.
Bukan rahasia lagi bahwa salah satu faktor penyebab lambannya pertumbuhan market share bank syariah adalah persepsi masyarakat bahwa bank syariah lebih mahal dari bank konvensional. Ini terjadi ketika masyarakat membandingkan jumlah yang harus mereka bayar ketika mengambil pembiayaan di bank syariah lebih besar daripada jumlah yang harus di bayar jika mengambil pinjaman dari bank konvensional. Salah satu penyebab mahalnya pembiayaan di bank syariah menurut penelitian Abduh (2012) adalah skala ekonomi bank syariah yang masih belum besar. Artinya, diperlukan bank syariah yang besar, yang mencapai skala ekonomi, agar pembiayaan bank syariah lebih murah atau minimal sama dengan bank konvensional.
Tampaknya, inilah yang mendasari upaya pendirian bank BUMN syariah di Indonesia. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa diperlukan bank syariah yang besar. Di antaranya dengan upaya melakukan merger bank syariah milik BUMN yang ada, yaitu : Bank Syariah Mandiri (BSM), Bank Negara Indonesia Syariah (BNIS), Bank Rakyat Indonesia Syariah (BRIS), dan Unit Usaha Syariah Bank Tabungan Negara (UUS-BTN).
Total aset pada kuartal III 2018 dari 4 bank syariah tersebut kurang lebih Rp 191 triliun. Adapun aset terbesar adalah BSM, Rp 93 triliun, disusul BNIS Rp 38 triliun, BRIS, Rp 36 triliun dan UUS-BTN Rp 24 triliun. Dari total aset bank syariah sebesar Rp 312 triliun, maka jika merger ini terjadi, maka bank BUMN Syariah mengambil porsi 61 persen. 39 persen lagi adalah aset seluruh bank umum syariah lainnya, ditambah seluruh bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) di Indonesia.
Penelitian Ratnawati memberikan rekomendasi bahwa leader memegang peran yang sangat penting untuk meningkatkan market share bank syariah. Leader disini, bisa eksekutif lewat kebijakan, atau bisa juga legislatif lewat undang-undang. Sedekah eksekutif adalah kebijakan dan sedekah legislatif adalah undang-undang. Seperti diketahui, dengan dikonversinya Bank Aceh menjadi bank syariah, diikuti oleh Bank NTB, membuat market share bank syariah menembus angka 5 persen. Malaysia, misalnya, pernah membuat aturan bahwa ada kewajiban bagi bank konvensional untuk menyalurkan 10 persen pembiayaannya melalui skim syariah. Hal ini semata-mata untuk memperbesar maket share dari bank syariah.
Indonesia sudah membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang langsung diketuai oleh presiden. Direktur eksekutif bersama 5 direktur KNKS lainnyapun sudah dilantik per 3 Januari 2009. Harapannya, upaya percepatan untuk membuat bank BMUN syariah yang besar sudah ada di depan mata. Mengapa merger empat bank syariah terbesar ini dilakukan? Jawabannya adalah untuk menciptakan ‘percepatan’.
Dalam fisika, ada rumus St = Vo.t + a.t2. Jarak pada waktu t adalah kecepatan awal dikali waktu, ditambah percepatan dikalikan dengan waktu kuadrat. Walaupun jarak kita sudah tertinggal dari teman, namun jika percepatan dapat dilakukan dan percepatan itu lebih besar dari percepatan teman, maka kita dapat menyusul teman tersebut. Analogi dengan rumus fisika tersebut, jika percepatan dapat dilakukan oleh Indonesia dan percepatan itu lebih besar daripada Malaysia, maka walaupun market share sudah tertinggal jauh, maka Indonesia akan dapat menyusul Malaysia bahkan mengalahkannya.
Pertanyaan berikutnya, berapa lama waktu yang diperlukan untuk mengalahkan market share Bank Syariah Malaysia? Jawabannya sederhana, tergantung seberapa besar percepatannya. Semakin besar percepatan itu, semakin cepat dapat dikalahkan. Jika seluruh gubernur mengkonversi bank daerahnya menjadi bank syariah, maka percepatan akan besar. Jika presiden menginstruksikan agar semua dana APBN diletakkan di Bank Syariah, maka percepatannya akan besar. Artinya, diperlukan sedekah eksekutif baik gubernur bahkan presiden berupa kebijakan yang mendorong pertumbuhan market share bank syariah.
Perkembangan bank syariah yang pesat akan membawa dampak ikutan yang besar pula, yaitu meningkatnya dana-dana sosial ummat. Pasal 4, UU No 21 Tahun 2008 ayat 2 menyatakan bahwa bank syariah dan UUS (Unit Usaha Syariah) dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Disamping itu, ayat 3 nya menyatakan bahwa bank syariah juga dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif). Peningkatan zakat, infak, sedekah dan wakaf ini, akan meningkatkan kesejahteraan ummat.
Saat ini Indonesia menganut dual monetary system, sejak diundangkannya UU No 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah. Artinya, pada saat yang sama, pemerintah mengakui sistem bunga dan sistem bagi hasil dalam satu waktu. Dalam teori moneter, dual monetary system ini akan membuat tussle antara kedua sistem. Akan ada sistem yang kalah, dan akan ada sistem yang menang, tergantung kondisi dan situasi pemerintah dan masyarakatnya. Dalam Bahasa akademisnya, tergantung dari learning process dan karakter komplementaris-partisipatif. Di sinilah perlunya sosialisasi dan edukasi bank syariah ke masyarakat. Penulis berharap, tahun 2042 market share bank syariah sudah di atas 50 persen.
Penulis jadi ingat pertanyaan professor Yasuhara Ukai dari Kansai University Jepang 13 tahun lalu di Turki. Ketika itu, penulis menyampaikan satu paper berjudul “Five Star strategy to develop Islamic Bank in Indonesia”. Setelah presentasi dibukalah forum tanya jawab. Professor Ukai bertanya “Is it possible to apply dual monetary system in one time? Do you believe dual monetary system will be effective? Penulis tidak dapat menjawab pertanyaannya ketika itu. Tampaknya disertasi Ratnawati ini menjadi salah satu penelitian yang menjawabnya. Dalam sistem moneter yang didominasi oleh interest rate (suku bunga), maka instrument moneter syariah tidak efektif, bahkan masih bekerja seperti halnya konsep konvensional.
Penulis : Hendi tanjung, Ph.D
Diterbitkan : Majalah peluang