PADA tanggal 15 April 2021, Presiden Joko Widodo meluncurkan gerakan cinta zakat di Istana Negara. Presiden menyampaikan bahwa gerakan cinta zakat ini sejalan dengan program pemerintah yang memiliki kerja sangat besar untuk mengentaskan kemiskinan, menangani musibah dan bencana, dan menuntaskan program-program SDGs (Antaranews.com). Lalu ada yang menanyakan kepada penulis, bagaimana dengan pajak yang justru instrumen resmi pemerintah atasi kemiskinan rakyat?

Pajak dalam Islam sudah dikenal sejak zaman Khalifah Umar Bin Khottob, ketika penaklukan tanah Irak dan Syam. Umar yang visioner berpandangan, jika semua tanah taklukan dibagikan kepada setiap muslim, bagaimana dengan pendapatan negara di masa depan yang tanahnya semakin luas?  Bagaimana dengan kebutuhan dana untuk mempersiapkan tentara penjaga daerah perbatasan?  Umar pun menyerahkan tanah kepada penduduk asli lalu memungut pajak darinya yang belakangan dikenal dengan istilah kharaj. Artinya, pendapat yang mengatakan bahwa pajak tidak terdapat dalam Islam adalah pendapat yang lemah. 

Menurut UU No 28 Tahun 2007 tentang  Pajak, pasal 1 ayat 1, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Fungsi pajak antara lain untuk pembiayaan perang, penegakan hukum, keamanan atas aset, infrastruktur ekonomi, pekerjaan publik, subsidi, dan operasional negara itu sendiri. Dana pajak juga digunakan untuk membayar utang negara dan bunga atas utang tersebut. Pemerintah juga menggunakan dana pajak untuk membiayai jaminan kesejahteraan dan pelayanan publik. Pelayanan ini termasuk pendidikan, kesehatan, pensiun, bantuan bagi yang belum mendapat pekerjaan, dan transportasi umum (Wikipedia).  Fokus fungsi pajak tetap pada upaya mengentaskan kemiskinan dan menyejahterakan masyarakat. 

Zakat adalah salah satu rukum Islam yang sifatnya wajib.  Dalam UU No. 23 Tahun 2011 disebutkan, dalam pasal 3, bahwa Pengelolaan zakat bertujuan: a. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan b. meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.

Merujuk pada UU pajak ataupun UU zakat, terdapat kesamaan tujuan dari pajak dan zakat, yaitu menanggulangi kemiskinan dan menyejahterakan masyarakat. 

Hubungan antara Pajak dan Zakat pernah dibahas dalam seminar MUI tahun 1990 oleh alm. Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML, Ketua Komisi Fatwa MUI saat itu.  Beliau menjelaskan “Warga negara Indonesia yang beragama Islam berkewajiban mengeluarkan zakat sebagai realisasi pelaksanaan perintah agama dan berkewajiban pula membayar pajak sebagai realisasi ketaatan kepada ulil amri/pemerintah. Islam memberi wewenang kepada ulil amri/pemerintah untuk mengelola zakat dan pajak” (Mimbar Ulama, edisi No 150, Zulhijjah 1409 H, Juli 1990).

Dewan penelitian keislaman Universitas Al Azhar Kairo Mesir mengeluarkan fatwa bahwa pajak untuk kepentingan negara tidak dapat menggantikan pembayaran zakat yang wajib hukumnya dalam Islam. 

Sinergi Pajak dan Zakat

Dalam UU No 23 Tahun 2011 pasal 23 disebutkan : ”(1) BAZNAS atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki;  (2) Bukti setoran zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.

Hal ini sejalan dengan PP Nomor 60 Tahun 2010 tentang zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, yang dicantumkan dalam pasal 1 ayat 1 yang berbunyi: “Zakat atau sumbangan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi : a. zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau b. sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah”.

Hal yang paling penting dalam mengelola pajak dan zakat ini adalah amanah.  Allah sangat murka kepada orang yang tidak amanah.  Dosanya ganda, bersifat duniawi (dosa kepada orang yang membayar pajak dan zakat) dan bersifat ukhrawi (dosa kepada Allah). Orang yang mengorupsi dana pajak dan zakat di hari kiamat dia akan mencari seluruh orang yang membayar pajak dan zakat untuk minta maaf atas perbuatannya.

Apakah dimaafkan? Ya, dengan syarat kebaikannya dilimpahkan kepada orang yang membayar pajak dan zakat. Jika kebaikannya sudah habis? Maka keburukan para pembayar pajak dan zakat akan dilimpahkan kepadanya.  Jadilah dia orang yang bangkrut sebagaimana yang dimaksud dalam Hadits riwayat Muslim No. 6522. Oleh karena itu, Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk tidak berkhianat pada amanah yang diembannya. Perhatikan QS Al Anfal [8]:27 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.

Ada yang menarik ditulis oleh Meik Wiking dalam bukunya berjudul The Little Book of LYKKE.  Wiking menulis bahwa menurut survai Gallup 2014, sembilan dari 10 orang Denmark bahagia membayar pajak yang tinggi.  Rata rata pendapatan orang Denmark adalah £39,000 per tahun. Pajak penghasilan 45 persen. Kenapa orang Denmark bahagia membayar pajak yang tinggi? Jawabannya adalah: karena pajak tersebut dikembalikan kepada rakyat. Fasilitas kesehatan gratis. Universitas gratis. Setiap pelajar disantuni pemerintah £590 setiap bulan. 

Semua tahu, pendidikan dan kesehatan itu biaya hidup yang mahal. Kalau pendidikan dan kesehatan sudah gratis, untuk apa punya uang banyak? Maka, orang Denmark senang membayar pajak yang tinggi karena mereka menganggap ‘Kami bukan membayar pajak, tapi membeli kualitas hidup.  Kami berinventasi untuk masyarakat kami”.

Wakaf

Jika pajak dan zakat bertujuan mengentaskan kemiskinan, wakaf pun sama. Bedanya, kalau zakat dan pajak dipungut setiap tahun, karenanya harus habis setiap tahun; wakaf tidak boleh habis. Pokok harta wakaf harus dijaga. Yang boleh dihabiskan adalah hasil investasi harta wakaf.  Misalnya, wakaf uang; yang boleh diambil adalah hasil investasinya. Sebagian hasil tersebut diberikan kepada penerima manfaat wakaf, dan sebagian lagi untuk nazir dan untuk investasi. Dengan berjalannya waktu, wakaf uang ini akan membesar dan sifatnya abadi. Jika wakaf uang ini sudah sangat besar, dia dapat membantu keuangan negara, dan pajak dapat dikurangi bahkan dihapuskan. 

Perbedaan lain, kalau pajak dan zakat sifatnya wajib, wakaf sifatnya sunnah. Meminjam istilah Ketua Badan Wakaf Indonesia, Prof. Dr. Mohammad Nuh, orang baik adalah orang yang menunaikan kewajiban (pajak dan zakat).  Orang terbaik, selain menunaikan kewajiban, juga menunaikan di luar kewajiban (wakaf).  Oleh karena itu, marilah menjadi orang terbaik dengan membayar pajak, zakat dan wakaf.●

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *