Jakarta – Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca pada tahun 2030 dengan upaya sendiri sebesar 31,89 persen dan sebesar 43,2 persen melalui dukungan internasional. Salah satu upaya penurunan emisi tersebut melalui bursa karbon. Diresmikan pada 26 Oktober 2023 lalu oleh Presiden Joko Widodo, bursa karbon Indonesia menjadi momen penting upaya Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai ratifikasi Paris Agreement. Hingga 30 November 2023, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan nilai perdagangan di bursa karbon Indonesia mencapai Rp30,7 miliar dengan volume perdagangan 490,716-ton setara karbondioksida. Transaksi tersebut masih sebatas sektor energi dan belum merambah sektor lain.
Bulan Maret 2024 lalu penulis mewakili Badan Wakaf Indonesia menjadi narasumber dalam kegiatan diskusi yang diadakan Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia bersama Dr. Khalifah M. Ali (Ketua Hutan Wakaf Bogor) dan Prof. Dr. Waryono Abdul Ghafur (Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama). Secara ringkas penulis menjelaskan potensi hutan untuk mengikat karbon di udara dan menurunkan emisi gas rumah kaca. Juga menjadi rumah yang menaungi lebih dari 80 persen spesies yang hidup di tanah meliputi hewan dan tumbuhan yang sangat erat kaitannya dengan prinsip ke-15 Sustainable Development Goals yaitu Life on land.
Salah satu skema perdagangan karbon di BEI adalah Offset Market yang memperdagangkan kredit karbon dari pengurangan atau penghilangan gas rumah kaca atau tindakan mitigasi perubahan iklim. Indonesia memiliki peluang untuk meningkatkan pendapatan dari bursa karbon dengan mengoptimalkan potensi dari hutan sebagai kredit karbon premium, yakni kredit karbon yang lebih banyak menyerap emisi ketimbang mengurangi.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia adalah rumah bagi 125 juta hektar kawasan hutan atau 63 persen dari luas total daratan Indonesia. Hutan hujan tropis Indonesia, yang merupakan ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Kongo, mampu menyerap emisi karbon sebesar 25,18 milyar ton. Dari data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Indonesia diproyeksikan mampu mendapat keuntungan dari hutan tropis sebesar Rp 1,780 triliun dengan asumi harga unit karbon sebesar 5 dolar AS.
Selain memberikan keuntungan ekonomi dalam bentuk kredit karbon, hutan memiliki sumbangan ekologi yang penting bagi lingkungan sekitar. Hutan hujan tropis adalah rumah besar keanekaragaman hayati Indonesia. Juga sebagai benteng hijau dari ancaman bencana akibat krisis iklim seperti tanah longsor, banjir, dan kekeringan berkat perannya sebagai penahan erosi, penyerap limpahan hujan, hingga pelindung mata air. Kehilangan setiap jengkal tutupan hutan sama artinya dengan memutus kehidupan dan sumber penghidupan makhluk hidup.
Namun besarnya potensi karbon premium ini menemui kendala alih fungsi hutan dan lahan. Perkebunan sawit, industri penebangan kayu, ekspansi lahan, serta pertambangan menjadi ancaman serius bagi kelestarian hutan hujan tropis Indonesia. Alih fungsi dan deforestasi ini membuat Indonesia kehilangan 230 ribu hektar hutan tropis atau setara dengan 177 juta ton emisi CO₂ menurut data yang dihimpun Global Forest Watch. Meski Indonesia berhasil menurunkan angka deforestasi pada tahun 2021-2022 sebesar 104 ribu hektare, namun deforestasi terus menjadi tantangan global.
Skema hutan wakat dapat menjadi jalan keluar penyediaan lahan hutan untuk kepentingan konservasi. Hutan wakaf dapat menjaga kondisi hutan tetap lestari dengan tetap memberikan manfaat ekonomi bagi kehidupan masyarakat sekitar. Konsep ini sejalan dengan visi program perhutanan sosial dari pemerintah. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menjadi landasan hukum yang tegas untuk melindungi kawasan yang diwakafkan dari kemungkinan alih guna lahan. Tanaman dan material lain yang berkaitan dengan tanah sebagai benda tidak bergerak yang menjadi harta benda wakaf tidak boleh dijaminkan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Artinya setelah suatu kawasan telah memenuhi persyaratan sebagai harta benda wakaf, kawasan tersebut akan tetap menjadi wilayah hutan yang tidak dapat dialihkan untuk fungsi-fungsi lainnya.
Selain memberi kepastian perlindungan status lahan, wakaf hutan juga dapat menjadi solusi penyediaan pembiayaan untuk memenuhi target penurunan emisi. Indonesia masih membutuhkan dana sebesar 281 miliar dolar AS atau sekitar Rp4.299 triliun untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) pada tahun 2030. Mekanisme wakaf hutan dapat menjadi alternatif pembiayaan yang berbasis filantropi Islam mengingat potensinya yang sangat besar di Indonesia sebagai negara dengan mayoritas pemeluk agama Islam. Menurut Badan Wakaf Indonesia, potensi wakaf mencapai Rp180 triliun setiap tahun. Hingga Oktober 2023, sudah ada Rp2,3 triliun yang terkumpul melalui wakaf uang. Namun, sebagian besar masih tersalurkan untuk kegiatan pendidikan dan pengentasan kemiskinan. Penyaluran wakaf untuk konservasi lingkungan sejauh ini nilainya sangat kecil, masih di bawah Rp 5 miliar.
Wakaf hutan dapat menjadi model alternatif pendanaan iklim yang berasal dari kolaborasi dan memberikan manfaat bagi umat. Di Aceh Besar, satu hektar lahan yang diwakafkan empat orang wakif atau pemberi wakaf pada tahun 2014 kini berkembang menjadi hutan wakaf seluas 3,8 hektar dan 9.000 meter persegi yang disokong pendanaan sekitar 400 orang wakif. Hutan ini menjadi upaya pertahanan warga bagi ancaman kerusakan lingkungan di Daerah Aliran Sungai Krueng Jalin yang terdesak perluasan lahan kelapa sawit. Sedangkan di Pamijahan, Bogor, hutan wakaf menjadi inisiatif mencegah bencana tanah longsor di wilayah rawan bencana. Hutan ini juga memberikan manfaat bagi warga sekitar berupa hasil alam seperti madu hutan, buah-buahan, hingga pendapatan dari kegiatan ekowisata. Simpul-simpul kolaborasi umat ini terbukti mampu menjadi inisiatif konservasi yang berkelanjutan tidak hanya bagi lingkungan namun juga bagi masyarakat sekitar.
Indonesia harus mampu mengambil peluang dari potensi sumber karbon hijau dan karbon biru yang dimilikinya sebagai pemain kunci mewujudkan pertumbuhan ekonomi hijau. Untuk itu hutan wakaf perlu terus dipromosikan sebagai upaya mengembalikan peran hutan sebagai aset penting untuk pembangunan yang ramah lingkungan. Selain itu perlu mekanisme yang memudahkan untuk menghitung dan menjual kredit karbon dari hutan-hutan wakaf yang dikelola masyarakat langsung ke korporasi-korporasi besar sehingga manfaat ekonomi hutan wakaf dapat langsung dirasakan oleh para pelakunya.
Hendri Tanjung (Anggota Badan Wakaf Indonesia) dan Achmad Syalaby Ikhsan (MOSAIC)
Sumber : Detik.com