Ibadah haji adalah rukun Islam Kelima. Sebagai rukun Islam, maka ibadah haji termasuk bangunan pokok masyarakat Muslim selain Syahadat, Sholat, Puasa, dan Zakat. Karena posisinya yang demikian penting dan strategis, maka ibadah haji merupakan peristiwa besar dalam sejarah muslim mulai dari Nabi Ibrahim sampai sekarang. Entah sudah berapa juta orang yang pergi menunaikan ibadah haji dari seluruh penjuru dunia. Dengan berhaji, maka diharapkan terjadi interaksi, saling kenal mengenal dan saling memperkokoh kesatuan dan persatuan sesama Muslim di seluruh dunia.
Sebelum melaksanakan ibadah haji, sudah terdapat aspek dan dampak ekonomi terhadap keputusan yang diambil dalam merencanakan perjalanan ibadah haji, yaitu: Harta setoran haji harus halal.
Harta merupakan unsur pokok dalam kehidupan sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 5 yang artinya “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka yang ada dalam kekuasaanmu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan”.
Disamping unsur pokok kehidupan, harta juga menjadi kebanggaan manusia, sehingga manusia berlomba-lomba untuk mendapatkannya “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan, yaitu anak anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah tempat kembali yang baik” (Qs Ali Imran: 15).
Konsep kepemilikan harta dalam Islam adalah kepemilikan “Istikhlaaf” (menguasai), bukan kepemilikan mutlak. Manusia sebagai “mustakhlafiin” memiliki arti bahwa manusia hanyalah diberi kekuasaan mengelola dan mendayagunakan harta itu. “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya” (Qs 57:7).
Konsep kepemilikan harus didasarkan atas keyakinan bahwa setiap orang yang memiliki kekuasaan pada hakekatnya adalah pemegang amanat (Qs 3:26), dan seluruh harta benda hanyalah milik Allah dimana manusia hanya berhak mengelolanya (Qs 24:33), serta di dalam harta milik seseorang ada hak orang lain yang wajib ditunaikan (Qs 51:19).
Atas dasar itu, maka terdapat beberapa konsekuensi, pertama, Manusia harus menegakkan kekhalifahan itu menurut petunjuk dan aturan syariat-Nya, bukan menobatkan dirinya sebagai penguasa yang bertindak sebagai pemilik mutlak bumi (Qs 5:49); kedua, Manusia harus saling tolong menolong (ta’awun) dan saling menanggung (takaful) antara sesama, dimana sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian lainnya dengan cara memanfaatkan rezeki Allah yang telah dianugerahkan kepada mereka (Qs 9:71); ketiga, Menjauhi sifat boros dan mubazzir dalam menggunakan harta (Qs 17:26-27), keempat, Adanya peredaran harta, tidak hanya bertumpuk pada segelintir orang saja (Qs 59:7).
Terkait dengan harta yang dipersiapkan untuk berangkat menunaikan ibadah haji, maka harta tersebut harus halal, tidak diperoleh dengan cara Korupsi, Kolusi, Menipu, Manipulasi, serta cara-cara kotor lainnya. Kalau Harta setoran haji halal, maka: Haji Mabrur. Kalau Harta setoran haji haram, maka: Haji Mardud
Ketika seseorang akan berhaji keluar dari rumah dengan nafkah (ongkos haji) yang baik (halal) kemudian dia meletakkan kakinya di atas kenderaan lalu mengucapkan “Aku sambut panggilan-Mu yang Allah, aku sambut panggilan-Mu”, tiba-tiba terdengar suara dari langit “Aku sambut panggilanmu dan dua kebahagiaanmu, bekalmu dari yang halal, dan kenderaanmu halal, hajimu mabrur tidak tercampur dengan dosa”. Dan apabila seorang yang akan berhaji keluar dari rumah dengan bekal yang haram maka ketika dia naik kenderaan lalu mengucapkan “Aku sambut panggilan-Mu yang Allah”, tiba-tiba terdengar suara dari langit “Tidak, Aku tidak menyambut panggilanmu dan engkau tidak mendapatkan dua kebahagiaan, bekalmu dari harta yang haram dan nafkahmu haram, hajimu tercampur dengan dosa, tidak mabrur” (HR Thabrani dari Abu Hurairah).
Dengan harta yang halal, insya Allah hajinya mabrur, pulang haji bertambah taqwanya, dengan bertaqwanya individu-individu, maka akan bertaqwa pula keluarganya. Dengan bertaqwanya keluarga-keluarga, bertaqwa pula masyarakatnya. Dengan bertaqwa masyarakatnya bertaqwa pula bangsanya. Tentunya kita ingin bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat, karena masyarakatnya adalah masyarakat bertaqwa.
Harapan yang sangat sederhana, semakin banyak jamaah sholat shubuh setelah haji berlangsung. Jangan sampai, sudah berkali kali mengadakan walimatus syafar untuk mereka yang pergi haji, tetapi jamaah sholat shubuh tidak bertambah. Orang yang sholat shubuh tetap yang itu itu saja, padahal yang bertitel Haji bertambah banyak. Jangan sampai pengurus DKM mesjid mengatakan “Jamaah haji terus bertambah di komplek ini, tetapi jemaah sholat shubuh tidak bertambah, malah berkurang karena meninggalnya beberapa jamaah shubuh. Haji oh Haji”.
—Wallahu A’lam—
Penulis : H. Hendri Tanjung. Ph.D