Dalam bukunya The Cultural Atlas of Islam, Sepasang suami istri Ismail R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi menulis bahwa Ramadhan adalah bulan simpati terhadap orang miskin yang merupakan mayoritas manusia. Simpati itu diwujudkan dalam bentuk memberikan sedekah kepada faqir miskin. Banyak sekali perintah Allah dalam Al-qur’an untuk bersedekah kepada orang-orang miskin, baik yang meminta maupun yang tidak meminta karena menjaga kehormatan diri. Namun, sedekah ini masih bersifat sukarela, artinya, sedekah itu tidak ditentukan waktunya, dan tidak ditentukan jumlahnya. Sehingga, sedekah seperti itu sangat tergantung pada niat baik si pemberi. Akibatnya, sedekah tidak dapat dipercaya secara teratur dan permanen memenuhi kebutuhan masyarakat. Demikian tutur suami istri Ismail dan Lois Al Faruqi ini.
Oleh karena itu, Zakat yang merupakan sedekah wajib, disyariatkan untuk diambil dari orang kaya dan disalurkan ke orang miskin. Berbeda dengan sedekah, zakat ini ditentukan waktunya (setelah mencapai haul satu tahun hijriyah) dan ditentukan jumlahnya (2,5% dari harta). Karena waktu dan jumlahnya ditentukan, maka zakat diharapkan dapat secara permanen memenuhi kebutuhan masyarakat miskin. Karena dipercaya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat miskin lah maka zakat harus dikelola oleh amil zakat yang ditunjuk oleh pemerintah. Amil zakat ini adalah pekerjaan mulia karena bertujuan mulia, yaitu mengentaskan kemiskinan. Karena pekerjaan mulia tersebut, maka amil zakat berhak mendapatkan bagian dari harta zakat itu sendiri seperti yang dicantumkan Al-qur’an (Lihat Qs At Taubah 9 ayat 60).
Yang uniknya, dalam rangka beribadah kepada Allah, kedua rukun Islam ini, baik puasa ramadhan maupun zakat, diperintahkan oleh Allah dilakukan dengan ikhlas, bukan karena ria (Qs Al Bayyinah , 98 ayat 5). Nampaknya, inilah yang menjadi kunci dari pelaksanaan amal puasa dan zakat itu. Puasa kalau dilakukan dengan ikhlas hanya mencari keridhoan Allah, maka akan muncul suatu sifat pengendalian nafsu yang sangat baik. Nafsu manusia yang cukup besar adalah nafsu terhadap harta. Hal ini dikarenakan manusia sangat mencintai harta dengan kecintaan yang luar biasa (Qs Al Fajr, 89 ayat 20). Bagi orang yang dapat mengendalikan nafsunya pada harta, maka akan muncul kedisiplinan dirinya dalam membayar zakatnya yang notabene mengeluarkan sebagian hartanya bagi orang miskin. Hal ini karena pada sebagian harta orang kaya terdapat hak orang miskin (Qs Al Maarij, 70 ayat 24-25). Biasanya, orang pada umumnya ‘enggan’ mengeluarkan hartanya untuk orang lain. Nah, ke’enggan’an ini akan dapat diperangi dengan disiplin diri yang muncul dari keikhlasan dalam melakukan ibadah puasa. Jadi, ibadah puasa ramadhan yang dilakukan dengan ikhlas akan mendorong untuk membayar zakat dengan ikhlas. Inilah harmoni yang luar biasa dari ibadah yang dilakukan dengan ikhlas.
Bicara ‘ikhlas’, akan menimbulkan pertanyaan besar, apa sebenarnya “ikhlas” itu? Ada yang menganalogikan ikhlas itu adalah ibarat susu murni. Kalau susu itu dicampur dengan air, berarti tidak murni lagi. Atau, bila susu itu dicampur dengan teh, maka bukan susu murni lagi, tetapi sudah jadi teh susu. Begitu juga dengan ikhlas, yang diartikan mengerjakan sesuatu karena Allah saja, bukan karena yang lain. Kalau ada sedikit saja unsur berpuasa bukan karena Allah, maka tidak ikhlas puasanya. Kalau membayar zakat niatnya karena takut sama atasan yang menginstruksikan bawahan untuk membayar zakat, bukan ikhlas zakatnya.
Dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, bab Ikhlas, Imam Ghazali membuat analogi yang sangat menarik. Imam ghazali menulis: ”Ilmu itu bibit. Amal itu menanam. Airnya itu keikhlasan”. Analogi ini sangat luar biasa. Pertama, kalau kita menanam suatu tanaman, katakanlah padi, maka bibit padi harusnya yang terbaik. Kalau bibitnya seadanya, dipastikan hasil panennya juga seadanya. Jadi posisi bibit yang diperankan oleh ilmu, sangat penting untuk menentukan kualitas hasil suatu amal. Kalau amal dilakukan dengan ilmu yang seadanya, maka hasil amalnya juga akan seadanya.
Kedua, kalau bibit sudah baik, diperoleh kualitas terbaik, tapi tidak ditanam, maka dipastikan bibit tersebut tidak berguna. Apalah artinya bibit kalau tidak ditanam, dibiarkan saja kena panas. Pasti bibit itu akan kering dan rusak. Apalah artinya ilmu kalau tidak diamalkan. Ilmu yang tidak diamalkan tidak akan menghasilkan apa-apa bagi orang yang berilmu itu.
Ketiga, Bibit sudah baik, kemudian ditanam, tapi tidak ada airnya, maka tidak akan tumbuh subur padinya. Bisa bisa terjadi fuso kekeringan dan gagal panen. Inilah kalau ilmu yang diamalkan tanpa keikhlasan, bisa-bisa tidak menghasilkan apa-apa. Bahkan bagi orang yang menanamnya mengalami kerugian yang sangat besar, rugi uang karena sudah membeli bibit kualitas baik. Rugi tenaga karena sudah menanam dengan susah payah. Ilmu yang baik, kemudian diamalkan tanpa keikhlasan tidak akan menghasilkan apa-apa di sisi Allah. Rugi waktu menuntut ilmu dan rugi tenaga mengamalkannya. Alangkah bodohnya seorang hamba yang sudah menanam bibit kualitas baik, tapi tidak memberi airnya, sama bodohnya dengan hamba yang mengamalkan ilmunya tanpa menghadirkan ‘ikhlas’ dalam dirinya. Naudzubillahi min zalika.
—Wallahu A’lam—
Penulis: H. hendri Tanjung, Ph.D