H. Hendri Tanjung, Ph.D
Pada hari Jum’at 25 Maret 2022, Badan Pengelola Keuangan Haji Republik Indonesia (BPKH-RI) menyelenggarakan Global Islamic Investment Forum (GIIF) di hotel Pullman Podomoro Jakarta. GIIF 2022 ini dibuka oleh presiden Joko Widodo, dan ditutup oleh Wakil Presiden KH.Ma’ruf Amin. Tampil sebagai pembicara berturut turut Presiden Islamic Development Bank (IsDB), H.E. Dr. Muhammad Sulaiman Al Jasser, Menteri BUMN, Erick Tohir, Menteri keuangan, Sri Mulyani Indrawati, Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Anggito Abimayu, Ketua Dewan Pengawas BPKH, Yuslam Fauzi, dan Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo. Sesi pertama dimoderatori oleh Khalid dari ICD dengan pembicara:, Dr. Hurriyyah El Islamy (BPKH), En. Muhammad Damshal Awang Damit (Executive Director Investment, Lembaga Tabung Haji Malaysia), dan Mohamed Hedi Mijai (Head of Investment at IsDB). Tema dalam sesi pertama adalah tentang investasi haji. Sesi kedua bertindak sebagai moderator Dr. E, Mulya siregar, dengan pembicara : Dr. Mohamed Ali Chatti (Awqaf Property Investment Fund, IsDB), Penulis sendiri mewakili Badan Wakaf Indonesia, Dato Badlisyah Abdul Ghani mewakili Yasar investment Company Malaysia, dan Dr. Akhyar Adnan mewakili BPKH. Tema yang diusung dalam sesi kedua ini adalah, Environmental Social and Governance (ESG) and Islamic Social Finance.
Ada yang menarik dalam obrolan singkat sesama panelis ketika sesi kedua berlangsung. Dato Badlisyah dari Malaysia mengatakan bahwa ada tussle antara gift economy dengan market economy. Tussle adalah perkelahian atau pergumulan, dimana akhirnya ada yang menang dan ada yang kalah. Gift economy tidak mencari untung, sementara market economy mencari untung. Penulis mencoba mengorek keterangan lebih lanjut, dimana tussle nya?
Beliau lebih lanjut mengatakan kalau kita galakkan gift economy, misalnya wakaf, maka wakaf harus diusahakan dalam market economy. Harus ada profit dan sebagian profit digunakan untuk kebajikan masyarakat. Kebajikan itu adalah aktivitas gift economy. Wakaf ada dalam 2 bagian ini, market dan gift economy. Kalau wakaf dijalankan dalam full market economy, orang tidak akan percaya. Begitu juga kalau wakaf dijalankan dalam full gift economy, orang tidak akan percaya. Itulah tusslenya, kata penggagas wakaf Bencoolen Singapore itu.
Benarkah ada tussle?
Dalam sinopsis buku novel berjudul ECONOM 3 Menjelajah raktik Wakaf di Turki, karya penulis dan Irfan Azizi, disebutkan kata kata sebagai berikut: Wakaf-lah yang akan berhadap-hadapan dengan kapitalis. Bila kapitalis adalah kepemilikan individu, maka wakaf adalah kepemilikan kolektif. Dengan Wakaf-lah, peradaban umat akan terwariskan dari generasi ke generasi. Dengan Wakaf pula, jaminan pengamanan umat akan tersedia.
Tampaknya, antara gift ekonomi dalam bentuk wakaf dan market economy dalam bentuk ekonomi kapitalis, benar terdapat tussle antara keduanya. Dimana wakaf maju, maka ekonomi kapitalis akan mundur. Sebaliknya, dalam kondisi ekonomi yang dikuasai oleh kapitalis, maka wakaf akan mundur. Dalam mindset wakaf, orang akan memberi semua yang dia punya kepada Allah. Sementara dalam kapitalis, orang akan membeli semua untuk dimilikinya sendiri. Dalam istilah lain, terdapat trade off antara ekonomi wakaf dan ekonomi kapitalis. Ekonomi wakaf adalah ekonomi yang didominasi oleh kepemilikan kolektif, dalam arti, asset wakaf sudah milik Allah, lalu dikelola oleh nazir dan hasilnya digunakan untuk sebesar besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Sementara itu, ekonomi kapitalis didominasi oleh kepemilikan individu, dimana beberapa gelintir orang akan menguasai sangat besar asset. Dalam Bahasa lain, harta itu berputar diantara orang-orang kaya saja (pemilik modal). Padahal, Allah SWT melarang peredaran harta diantara orang-orang kaya saja, lihat Al-Qur’an Surat Al Hasyr [59] ayat 7.
The Beauty of Koperasi Syariah
Pertanyaannya adalah, adakah satu institusi yang dapat menampung aktivitas market economy dan gift economy ini secara bersamaan, dan tidak terdapat tussle? Jawabannya, ADA. Itulah Koperasi syariah.
Koperasi syariah menerapkan market economy dan gift economy secara harmonis. Sebagai badan usaha, tentu koperasi syariah harus untung. Dengan menerapkan transaksi yang juga sesuai dengan syariah, membuat untung yang diperoleh koperasi menjadi berkah. Untuk mensejahterakan anggotanya, koperasi diberi izin untuk mengelola zakat, infaq, sedekah dan wakaf (ZISWAF) sekaligus. Dengan ziswaf ini, banyak sekali anggota koperasi yang mendapatkan manfaat, baik dalam bentuk santunan sembako, bantuan beasiswa kepada anak-anaknya, bantuan ambulance bagi anggota yang sakit, dan lain-lain.
Koperasi syariah adalah bentuk gerakan berjemaah dalam ekonomi. Berjemaah itu, tidak hanya dalam sholat, tetapi juga dalam ekonomi. Dengan konsep berjemaah, maka persoalan berat menjadi ringan, dan ada tolong menolong disitu. Hanya saja, Muhammad Hatta, Bapak Koperasi Indonesia mengatakan, untuk kemajuan koperasi, maka koperasi harus dijalankan oleh orang orang jujur dan setiakawan. Diperlukan orang-orang yang tidak egois. Karena ketika koperasi besar, yang mendapat manfaat adalah semua anggotanya, bukan segelintir orang. Berbeda halnya dengan kapitalis. Jika usahanya maju, maka keuntungannya dinikmati oleh dirinya sendiri. Oleh karena itu, koperasi akan berhadap-hadapan dengan kapitalis.
Lawan dari egois adalah altruis. Altruis dimaknai orang yang memberi perhatian kepada orang lain. Mungkinkah ekonomi dibangun atas dasar altruisme? Satu konferensi di Zurich yang diselenggarakan oleh The Mind and Life Institute, April 2010, mengundang pakar dari seluruh dunia untuk mendengarkan pandangan mereka akan kemungkinan membangun ekonomi global dengan fokus altruisme ini. Pakar yang diundangpun dari berbagai disiplin ilmu dan latar belakang, diantaranya Ekonom, ahli neurosains, filosof, pebisnis, dan lain-lain.
Ketika bicara ekonomi, pasti bicara uang dan materi (kekayaan). Sederhananya, ekonomi seseorang dikatakan baik, jika dia bertambah kaya. Namun, apakah betul kekayaan itu berkorelasi dengan kebahagiaan? Dalam taraf tertentu, benar. Orang yang berkecukupan tentu lebih bahagia dari orang miskin yang masih memikirkan besok masih bisa makan atau tidak. Pada kondisi ini, begitu uang bertambah, kebahagiaanun bertambah.
Namun, pertambahan kebahagiaan itu melambat, atau bahkan berhenti. Buktinya, pendapatan dunia naik berlipat-lipat dari tahun 1960an, tetapi level kebahagiaan orang-orang di dunia stagnan. Tampaknya kebahagiaan sekelompok orang yang bertambah kaya tadi, tidak diikuti oleh kebahagiaan sekelompok masyarakat. Disinilah pentingnya ekonomi berbagi itu (Gift Ekonomi).
Koperasi syariah yang menerapkan prinsip berbagi, mendapat momentum untuk dikembangkan. Jika hidup untuk mencari kebahagiaan, maka berkoperasilah secara syariah. Jika hidup untuk mencari uang, silahkan pilih jalan masing-masing. Namun, konferensi di zurich 2010 lalu menyimpulkan: It tells us that altruism can be learned and cultivated, and that its rewards are profound. We believe we can transform our economic policies and actions into a force for good-a force that fulfils both short and long term aspirations for the protection of the environment, maerial prosperity, and meaningful, personal satisfaction for all.
Diterbitkan : DI Majalah Peluang April 2022