Ada yang menarik dari diskusi terbatas tentang Islamic Social Finance for Social Protection yang diselenggarakan oleh Institute Policy Studies (IPS) Islamabad. IPS adalah organisasi masyarakat sipil otonom, nirlaba, yang didedikasikan untuk mempromosikan penelitian, dialog, pengembangan manusia dan teknologi yang berorientasi pada kebijakan. Lembaga ini memiliki portofolio yang kaya akan kontribusi dan dampak kebijakan yang telah terbukti lebih dari empat puluh tahun.
Hadir sebagai pembicara adalah Dr Salman Ahmed Shaikh, associate profesor, SZABIST, Karachi dan peneliti utama proyek penelitian kebijakan besar tentang Keuangan Sosial Islam untuk Perlindungan Sosial. Proyek ini bertujuan untuk melihat secara komprehensif bagaimana memanfaatkan dan menerapkan mode, alat, dan teknik Keuangan Sosial Islam di negara-negara Islam untuk perlindungan sosial dan pengentasan kemiskinan serta memberikan rekomendasi kebijakan konkret kepada pemerintah federal dan provinsi di Pakistan untuk implementasi yang efektif.
Untuk tujuan ini, IPS membentuk Kelompok Studi dengan perwakilan dari akademisi, pemerintah, masyarakat sipil, industri, dan pemangku kepentingan terkait lainnya. Penulis diundang sebagai pakar/pemangku kepentingan untuk menjadi bagian dari Kelompok Studi ini. Pertemuan diagendakan sebulan sekali (partisipasi online melalui Zoom) untuk konsultasi, selain beberapa seminar/diskusi selama dan setelah studi selesai.
Dalam acara diskusi perdana di Islamabad, Jumat 24 januari 2021, penulis diminta memberikan pandangan tentang Islamic social finance for social protection di Indonesia. Penulis diminta bicara setelah Dr Salman berbicara.
Pertama, pandangan hukum tentang wakaf yang masih berbeda dan diperdebatkan sampai sekarang di Pakistan adalah: bolehnya wakaf uang, bolehnya wakaf sementara, bolehnya istibdal (pergantian objek harta wakaf). Sebagian ulama mengatakan boleh, sebagian lagi mengatakan tidak boleh.
Kedua, pendekatan yang sempit dalam kerangka hukum. Hukum mengenali wakaf sebagai sesuatu yang masih terbatas hanya pada masjid, kuil dan madrasah. Terlalu banyak juga wewenang yang dipegang oleh chief waqaf administrator.
Ketiga, defisit kepercayaan. Hal ini disebabkan ketakutan masyarakat bahwa harta wakaf akan diambil alih oleh pemerintah. Pemerintah dalam mengurus harta benda wakaf tidak aktif.
Keempat, preferensi yang lebih besar pada sedekah dibanding wakaf. Hal ini disebabkan karena ketidakpastian tentang Wakaf uang, uang tunai digunakan untuk sedekah daripada wakaf. Karena pendanaan infrastruktur dari wakaf membutuhkan pencapaian target pendanaan tertentu, orang biasanya lebih memilih untuk membayar sedekah daripada wakaf.
Dari empat tantangan wakaf itu, Indonesia sudah selesai dari yang tiga tantangan. Wakaf uang, wakaf sementara dan istibdal wakaf dibolehkan di Indonesia. Kebolehan ini ditandai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia dan UU No 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Hukum di Indonesia tidak mengenali wakaf hanya sebatas masjid dan madrasah, tapi juga wakaf uang, wakaf logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (lihat pasal 16 UU No. 41 Tahun 2004). Akibat wakaf uang dibolehkan dengan Fatwa MUI pada tanggal 11 Mei 2002, maka preferensi orang Indonesia untuk membayar wakaf uang, sama dengan membayar sedekah. Hanya satu hal yang masih menjadi tantangan perkembangan wakaf di Indonesia, yaitu kekhawatiran sebagian masyarakat harta wakaf akan diambil alih oleh pemerintah. Namun, setelah penulis menjelaskan mekanisme wakaf yang tidak memungkinkan diambil alih oleh pemerintah, sebagian masyarakat tersebut mengerti.
Dalam kesempatan itu, penulis mengungkapkan bahwa Islamic social finance di Indonesia tidak hanya dimainkan perannya oleh lembaga zakat, wakaf, infaq dan sedekah, tapi juga lembaga keuangan mikro Syariah yang menjalankan dua fungsi sekaligus, keuangan komersial dan keuangan sosial.
Penulis memberikan contoh koperasi Syariah Benteng Mikro Indonesia (BMI). Koperasi Syariah BMI mengumpulkan dana zakat dan dana infaq masing-masing sekitar Rp2 miliar pertahun. Sebagian dari dana infaq itu disalurkan dalam bentuk pemberian hibah rumah siap huni (HRSH) kepada non anggota koperasi. Sementara itu, pemberian HRSH kepada anggota diambil dari keuntungan koperasi. Sampai 30 Desember 2021, sudah 350 rumah diserahkan sebagai hibah kepada non anggota maupun anggota koperasi. Ini merupakan proteksi sosial yang paling riil kepada mereka yang tidak punya rumah. Di koperasi Syariah BMI, selain hibah rumah siap huni, ada 29 program sosial dan pemberdayaan masyarakat miskin.
Dalam 3 tahun terakhir, koperasi Syariah BMI berhasil mengumpulkan dana wakaf hingga Rp16 miliar. Uang wakaf itu dibelikan sawah 5 hektar di Kawasan Cisoka Kabupaten Tangerang, yang langsung disebut sebagai wakaf sawah. Target total sawah wakaf adalah 100 hektar.
Hadir juga dalam diskusi tersebut, sekretaris jenderal Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) Mr. Omar Mustafa Ansari. Beliau mengatakan bahwa AAOIFI banyak mengerjakan proyek tentang standar, seperti shariah standard, Governance standard, dan accounting standard, termasuk standar akuntansi wakaf. Beliau berharap dengan menerapkan standar akuntansi wakaf, dunia perwakafan akan semakin maju dan jaya.
Menutup pemaparan, penulis mengatakan keuangan sosial islam untuk perlindungan sosial tidak hanya menjadi tugas negara, namun juga masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat diminta berkontribusi aktif dalam pengembangan ekonomi ummat. Tanpa kontribusi masyarakat, berat sekali bagi pemerintah untuk mewujudkan perlindungan sosial ini.
Zakat sifatnya wajib, dan dikumpulkan oleh negara atau amil yang ditunjuk negara. Kalau wajib, maka statusnya sama dengan pajak. Kalau tidak dibayar, berdosa. Berbeda dengan infak, sedekah dan wakaf yang sifatnya sunnah. Ini sangat bergantung kepada masyarakat. Masyarakat yang peduli dengan kondisi orang yang belum beruntung ekonominya seperti fakir miskin, akan mengeluarkan infaq, sedekah atau wakafnya untuk digunakan oleh orang miskin dan tidak mampu. Kalau sudah begitu, dapatkah kita katakan bahwa infaq, sedekah, dan wakaf merupakan kontribusi masyarakat dalam perlindungan sosial?
Penulis : Hendri Tanjung, Ph.D
Di terbitkan : Majalah peluang