Pada tanggal 17-18 February 2020 diselenggarakan 2nd Divine Economics Conference oleh University of Azad Jammu and Kashmir, Pakistan.  Penulis menjadi panelis di hari ke-2 dengan tema “Relevance of Faith and Divinity in Economic Decision Making”.

Penulis memulai presentasi dengan mengangkat data GDP percapita dunia dari tahun 1 M sampai tahun 2008 M (Angus Maddison, 2010).  Ada yang menarik dari grafik GDP percapita dunia tersebut.  Dari tahun 600 M hingga 1300 M, atau yang lebih dikenal dengan The Golden Age of Islam, GDP percapita dunia cenderung stabil di angka 453 dollar.  Artinya, 700 tahun dimasa kegemilangan Islam, yang identik dengan The Dark Age of Europe, pendapatan rata-rata penduduk dunia cenderung stabil. 

Periode kestabilan pendapatan rata-rata penduduk dunia juga direkam dari tahun 1300 M hingga revolusi industri tahun 1700an.  Selama 400 tahun, GDP percapita dunia tidak meningkat, tetap stabil. 

Pada tahun 1500 M, GDP percapita dunia ada di angka 566 dollar, tahun 1600 di angka 596 dollar dan di tahun 1700 di angka 615 dollar.  Barulah setelah revolusi industri tahun 1789 hingga sekarang, GDP percapita dunia melonjak tajam.  Dalam 400 tahun terakhir, GDP percapita dunia melonjak lebih dari 10 kali lipat, dari 596 dollar di tahun 1600 M menjadi 7614 dollar tahun 2008 M.  Kenaikan yang tajam ini sebagian karena kontribusi revolusi industri, dan sebagian lagi karena kontribusi sistem perbankan berbasis bunga.  Adapun perkembangan GDP percapita dunia dari tahun 1 – 2008 M.

Sebagaimana diketahui bersama, sistem perbankan berbasis bunga akan menciptakan uang dari nol.  Istilahnya, creating money from nothing.  Misalnya, dengan reserve 10%, maka perbankan dapat meminjamkan 90 juta kepada nasabah B dari 100 juta deposito nasabah A.    Sehingga total uang yang beredar adalah 190 juta (100 juta uang nasabah A dan 90 juta uang nasabah B). 

Lalu oleh nasabah B, 90 juta didepositokan lagi ke bank, dengan reserve 10% dari 90 juta atau 9 juta, bank akan meminjamkan 81 juta kepada nasabah C.  Sehingga total uang yang beredar adalah 171 juta (90 juta uang nasabah B dan 81 juta uang nasabah C).  Lalu oleh nasabah C, 81 juta didepositokan lagi ke bank, dengan reserve 10% dari 81 juta atau 8 juta, bank akan meminjamkan 73 juta kepada nasabah D.  sehingga total uang yang beredar adalah 154 juta (81 juta uang nasabah C dan 73 juta uang nasabah D).

Akumuluasi dari nasabah A sampai nasabah D, akan menghasilkan uang sebanyak 344 juta.  Dengan proses yang sama, bank akan meminjamkan uang ke nasabah E, F, G dan seterusnya yang pada akhirnya akan menghasilkan akumulasi 900 juta.  Sehingga, yang awalnya bank hanya meminjamkan 90 juta, akhirnya money supply akan terjadi sebesar 900 juta. 

Sehingga money multiplier sebesar 10.  Money multiplier adalah berapa kali uang digandakan dengan sistem perbankan.  Rumusnya adalah 1/reserve rasio. Jika reserve rasio 10%, maka multiplier money = 1/0.1 = 10.  Jangan heran, dengan sistem perbankan berbasis bunga, jumlah uang yang beredar berlipat lipat dari ekonomi riil yang ada. 

Di samping penciptaan uang yang sangat besar, sistem riba juga memberikan kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi.  GDP percapita negara-negara di dunia merekam data tersebut.  Mayoritas negara negara di dunia penduduknya miskin, yang umumnya di Afrika dan Asia, sedangkan sebagian kecil negara-negara di dunia penduduknya kaya (IMF 2019). 

Tidak hanya terciptanya kesenjangan ekonomi antar negara negara di dunia, namun juga terdapat kesenjangan ekonomi yang sangat besar di dalam satu negara.  Misalnya, 4 orang terkaya Indonesia hartanya sama dengan 100 juta orang Indonesia (The Guardian, Kamis 23 Februari 2017).  Jika diambil level dunia, 42 orang terkaya tahun 2017 sama hartanya dengan 3,7 miliar manusia (setengah penduduk bumi termiskin).  Pada akhirnya, sistem perbankan berbasis bunga, dibarengi dengan revolusi industri hanya menghasilkan penguasaan kekayaan di tangan segelintir orang-orang kaya saja. 

Divine economics (ekonomi wahyu) mengajarkan kepada kita bahwa harta itu jangan hanya berada di segelintir orang saja.  Al-qur’an surat al-Hasyar, 59 ayat 7 mengatakan yang artinya:”…agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang orang kaya saja diantara kamu”.  Artinya, harus ada mekanisme perputaran harta dalam ekonomi yang akan membuat ekonomi lebih merata.  Instrument untuk itu adalah zakat, infak, sedekah dan wakaf (ziswaf).

Dimasa keemasan Islam, disaat perbankan berbasis bunga tidak ada, tidak tercipta money supply yang sangat besar.  Uang yang beredar selalu sama dengan volume ekonomi sektor riil. Di saat yang sama, mereka patuh membayar zakat dan sangat gemar untuk berinfak dan bersedekah, sekaligus berwakaf. 

Solusi ekonomi

Berkaca pada dua sebab utama kesenjangan ekonomi, yaitu: penciptaan uang yang sangat besar, dan bertumpuknya kekayaan di segelintir orang saja, maka agar ekonomi lebih merata, solusinya adalah hilangkan sistem riba dalam ekonomi dan gerakkan sistem ekonomi berbasis sedekah. 

Hal ini tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 276 yang artinya :”Allah akan menghancurkan (sistem ekonomi berbasis) riba dan akan menyuburkan (sistem ekonomi berbasis) sedekah.  Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa”.

Perilaku orang yang percaya ekonomi wahyu (divine economics) akan berbeda dengan yang tidak.  Orang yang percaya wahyu, dia tidak akan melakukan riba.  Dia akan berhubungan dengan lembaga keuangan bebas riba.  Dia akan berhubungan dengan bank syariah, asuransi syariah, koperasi syariah, pegadaian syariah, dan lembaga-lembaga keuangan syariah lainnya. 

Di samping itu, orang yang percaya wahyu akan rutin membayar zakat, gemar bersedekah, berinfak dan berwakaf.  Mereka rela mengorbankan harta pribadinya di jalan Allah.  Mereka tidak segan-segan untuk melepaskan hak milik pribadinya dan menyerahkannya sebagai wakaf.  Mereka senang berbagi dan memperhatikan orang lain yang kesusahan.  Sifat tolong menolong mereka terapkan dalam ekonomi. 

Pertanyaannya, kenapa mereka melakukan semua itu?  Jawaban sederhananya adalah karena IMAN.  Inilah relevansi keimanan dengan keputusan ekonomi.  Mereka yakin bahwa apa saja harta yang diberikan di jalan Allah (karena perintah wahyu), akan mendapat ganjaran dan gantinya di sisi Allah dengan ganti yang lebih baik dan lebih besar. 

Allah berfirman dalam surat Saba, 34 ayat 39 yang artinya: “Katakanlah: Sungguh TuhanKu melapangkan dan membatasinya bagi siapa yang Dia kehendaki diantara hamba hambaNya.  Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang terbaik”.

Di sisi lain, orang beriman sangat memahami hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi yang artinya: “Sesungguhnya pada setiap ummat, ada ujiannya. Dan Ujian ummatku adalah harta”.  Artinya, orang beriman tidak mau tergoda dengan harta, karena mereka yakin sekali harta itu merupakan ujian.  Kebanyakan manusia lulus ujian ketika kesusahan, tetapi banyak yang tidak lulus ujian dengan kesenangan. 

Kenapa banyak orang yang tidak lulus dengan ujian kesenangan?  Karena mereka tidak mau memberikan sebagian harta mereka di jalan Allah.  Syetan membisiki mereka dengan takut miskin.  Seperti tercantum dalam Alqur’an surat Al-Baqarah, 2 ayat 268 yang artinya: “Syetan menjanjikan (menakut-nakuti) kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunianya kepadaMu, dan Allah maha luas, maha mengetahui”.

Di akhir presentasi Divine Economic Conference yang durasinya hanya 15 menit itu, penulis mengajak para peserta conference untuk taat membayar zakat dan gemar memberikan infak, sedekah dan wakaf untuk ekonomi yang lebih baik.  Ajakan yang sama juga untuk pembaca, tentunya.   

Penulis : H Hendri Tanjung, Ph.D

Diterbitkan : Majalah peluang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *