Menarik sekali pemaparan Adiwarman Karim dalam Focus Group Discussion (FGD) akad-akad Koperasi Syariah Benteng Mikro Indonesia (kopsyah BMI) 4 Desember 2018 di hotel The Alana Sentul Bogor. Beliau mengatakan, ada kekhawatiran jika seluruh pasar keuangan mikro digarap oleh lembaga keuangan mikro (LKM). Dijelaskan bahwa masyarakat grassroot yang merupakan pasar keuangan mikro tersebut melakukan pinjaman kepada tiga pihak, yaitu: keluarga/kerabat/teman, LKM, dan rentenir. Lebih lanjut dijelaskan bahwa menurut data bank dunia, ada sebanyak 42 persen meminjam kepada keluarga/kerabat/teman, 3 persen kepada rentenir, dan 12 persen kepada LKM. Secara keseluruhan, ada 57 persen masyarakat grassroot yang melakukan pinjaman untuk usahanya. Jika pinjaman melalui LKM diperbesar, maka pinjaman ke rentenir akan menjadi kecil, begitu juga pinjaman kepada kerabat. Ini akan sangat menolong mereka yang biasanya pinjam ke rentenir dengan bunga yang sangat besar untuk beralih ke LKM dengan bunga yang lebih kecil. Tetapi, ini menjadi berbahaya ketika masyarakat yang biasa pinjam kepada keluarga/kerabat/teman, beralih ke LKM. Hal ini disebabkan, pinjaman kepada keluarga/kerabat/teman biasanya tidak kembali. Kalaupun kembali, waktunya sangat longgar, atau dari sisi jumlah, tidak semua pinjaman dikembalikan. Namanya juga kepada keluarga atau kerabat atau teman. Karena ada unsur ‘menolong’nya disitu. Pendeknya, jika semua digarap oleh LKM dengan sangat massif, peluang terjadinya gagal bayar akan semakin tinggi. Begitu kesimpulannya.
Penulis terhenyak dengan pemaparan tersebut. Penulis jadi berpikir bahwa selama ini, kita melupakan peran dan kontribusi keluarga/kerabat dalam memberi pinjaman kepada masyarakat grassroot. Penulis dan mungkin pembaca juga berpikir hal yang serupa. Kita selalu memikirkan keadaan ekonomi keluarga inti (suami, istri dan anak anak) kita saja, sementara keluarga besar tidak. Kita selalu memikirkan bagaimana supaya ekonomi keluarga inti kita setiap tahun semakin baik, sementara keluarga besar tidak. Atau mungkin tidak pernah terlintas di pikiran untuk memberikan bantuan kepada keluarga besar kita. Atau yang lebih parah lagi, kita tidak memberi pinjaman kepada keluarga kita ketika merengek-rengek minta dibantu. Atau , kalaupun diberi pinjaman, kita desak untuk mengembalikannya seperti petugas kartu kredit yang menagih utang nasabahnya. Kalau sudah seperti itu, apa gunanya kita menjadi keluarga/kerabat mereka?
Allah berfirman dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 215; “ Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang harus mereka infaqkan. Katakanlah, ‘harta apa saja yang kamu infaqkan, hendaknya diperuntukkan bagi kedua orangtua, kerabat, anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan’. Dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah maha mengetahui”.
Ayat ini menjelaskan bahwa infaq itu diprioritaskan pertama kepada orangtua (ayah/ibu), lalu kerabat, kemudian anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Dari sisi wealth management, pihak yang pertama sekali dan paling berhak menikmati harta kita selain istri dan anak-anak, adalah ayah dan ibu kita. Oleh karena itu, mari kita sisihkan sebagian pendapatan atau gaji kita kepada ayah dan ibu kita kalau mereka masih hidup. Jika mereka sudah meninggal dunia, buatkan proyek wakaf dan niatkan pahalanya untuk ayah dan ibu. Bila perlu di proyek wakaf tersebut kita abadikan nama ayah atau ibu kita. Misalnya, Rumah Sakit Wakaf Jantung (RSWJ) ‘’Tanjung”.
Setelah orang tua, kerabat menempati prioritas kedua yang harus dibantu. Kerabat disini bisa kakak/abang atau adik kandung, paman atau bibi, saudara sepupu, dan pihak-pihak yang memiliki pertalian darah dengan kita. Jika mereka miskin, kita bertanggungjawab atas kemiskinannya. Kita bantu mereka modal usaha. Bila perlu, kita siapkan usahanya kalau kita memiliki kemampuan. Jika mereka meminta bantuan berupa pinjaman untuk usaha, bantulah mereka. Dalam hadits riwayat Thabrani dijelaskan, “Barang siapa yang membantu menolong hajat saudaranya, maka baginya pahala setara dengan pahala iktikaf sepuluh tahun”. bayangkan, pahala iktikaf sepuluh tahun. Jangankan sepuluh tahun, iktikaf sepuluh hari di akhir Ramadhan saja, masih banyak yang berat melakukannya. Oleh karena itu, tunggu apalagi. Mari kita segera bantu kerabat yang dalam kesusahan dengan mengharap pahala dan ridho Allah SWT.
PENYAKIT RIYA
Bagaimana jika kita lebih suka mendahulukan membantu orang lain daripada kerabat kita? Buya Hamka mengatakan itu ancaman penyakit riya. Buya menulis dalam kitab Tafsirnya, Al Azhar sebagai berikut: “Kalau orang sudah memberikan semurah murahnya kepada orang lain dan kurang memperhatikan yang lebih fardhu, ayah bunda dan keluarga yang dekat, tandanya orang ini telah mendapat ancaman penyakit ria, suka dipuji”.
Bagaimana kalau kerabat tersebut meminjam dan meminjam lagi kepada kita, sementara tidak pernah dibayar? Bukankah kita menjadi kesal? Jawabannya, kalau bantu kerabat, jangan harapkan untuk dibayar. Jika dibayar syukur, jika tidak, anggap saja sedekah. Jika diminta lagi? Beri saja jika ada kelebihan. Sebaiknya bagaimana? Anggarkan setiap bulan dari pendapatan kita untuk membantu saudara. Dan niatkan sebagai sedekah. Insya Allah pahala akan mengalir.
Bagaimana kalau kita juga tidak mampu? Mau menolong kerabat tapi tak punya uang banyak? Dalam hal ini, Koperasi dapat menjadi solusi. Inilah yang digagas oleh Kopsyah BMI. Dalam rapat kerja Kopsyah BMI di Bukittinggi 22 NoVember 2018, Ketua Pengurus Kamaruddin Batubara menjelaskan Kopsyah BMI tidak hanya sekadar koperasi simpan pinjam, tapi, lebih jauh dari itu, yaitu koperasi yang fokus pada pemberdayaan. Itu digambarkan dalam model BMI syariah, yaitu penerapan lima instrumen pemberdayaan untuk mencapai kesejahteraan bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, dan spiritual. Penulis menerjemahkan pernyataan tersebut dengan kata-kata ,‘Kita berdayakan mereka yang tidak berdaya, baik secara fisik maupun mental, baik secara materi maupun immateri’.
Kenapa koperasi menjadi solusi? Karena koperasi adalah milik anggota. Modalnya dari anggota lewat simpanan pokok dan simpanan wajib. Yang menjalankan koperasi juga anggota. Hasilnya dinikmati juga oleh anggota. Jika kita mengajak kerabat menjadi anggota koperasi syariah, maka secara tidak langsung, kita sudah menolong memberikan pinjaman pembiayaan kepada kerabat. Kenapa? Karena simpanan kita atau tabungan kita lah sebenarnya yang dipinjamkan oleh pengurus koperasi kepada kerabat tersebut.
Bukankah nanti kalau macet, koperasi akan mengejar anggotanya untuk membayar? Sederhananya dipaksa bayar? Sama saja dong dengan lembaga keuangan lain? Jawabannya TIDAK. Koperasi syariah tidak akan memaksa anggotanya untuk membayar pinjamannya jika tidak mampu. Bahkan, koperasi akan menghapuskan utang anggotanya dan mensedekahkannya jika memang terbukti benar-benar tidak mampu membayar, seperti kena bencana alam, kematian anggota/suami anggota, dll. Hal ini disebabkan perintah dalam surat al-Baqarah ayat 280: “Dan jika orang berutang itu dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. Semangat inilah yang dipraktikkan di Kopsyah BMI. Dalam beberapa kasus, bahkan Kopsyah BMI setelah menghapuskan utang anggota yang kemalangan tersebut, memberikan bantuan agar dapat berusaha kembali untuk memenuhi kehidupannya.
Mari kita buka lembaran hidup di tahun 2019 dengan menyisihkan sebagian pendapatan untuk menolong kerabat. Penulis doakan ,kita dapat melaksanakannya dan istiqomah menjalankannya.
Penulis : Hendri Tanjung,Ph.D
Diterbitkan : Majalah peluang