Hendri Tanjung

Husnul Khotimah adalah penutup yang baik, berasal dari bahasa arab, yang sering diartikan sebagai akhir  yang baik dari kehidupan ini.  Setiap pertunjukan, ada awal dan ada akhirnya.  Setiap panggung sandiwara ada awal dan ada akhirnya, demikian juga dengan film, ada awal dan ada akhirnya, hanya saja, yang membedakannya, adalah apakah akhirnya sad ending atau happy ending.  Biasanya penonton akan sangat bergembira jika akhir film itu adalah happy ending.  Jika demikian, ketika penonton keluar dari bioskop, semua merasa puas dan gembira bercampur bahagia.  Tidak demikian halnya jika film itu adalah sad ending, maka penonton akan sedih, dan mungkin menyesali cerita film tersebut yang berakhir dengan kesedihan itu.

Begitulah kehidupan ini,  tak ubahnya sebagai panggung sandiwara, atau film yang durasinya bukan 2 jam atau 3 jam, tetapi 60 atau 70 tahun.  Atau bisa saja sampai 80 tahun.  Dalam film kehidupan ini, kita bukan hanya penonton, tapi kita pemainnya.  Pertanyaannya, apakah film yang kita mainkan ini berakhir dengan happy ending, atau sad ending?  Jawabannya terletak pada peran yang kita mainkan dalam hidup, apakah perannya diridhoi-Nya, atau tidak.

Akhir/Penutupan dari kehidupan yang pasti kita hadapi, itulah yang disebut dengan kematian.  Paling tidak, ada 4 istilah dalam Al-Qur’an yang memaknai kematian itu. 

Pertama adalah MAUT.  Al Qur’an berfirman dalam surat Al-Munafiqun 63: ayat 10 yang artinya, “Dan infaqkanlah sebagian dari apa yang kami berikan kepadamu sebelum maut (kematian) datang kepada salah seorang di antara kamu.   

Lalu dia berkata (menyesali), ‘Ya Tuhanku, sekiranya engkau berkenan menunda (kematianku) sedikit waktu lagi, maka aku akan bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang soleh’ [10]”. 

Maut diartikan sebagai diam (sukun).  Ketika kematian datang, tubuh akan diam membeku,  itulah maut.  Tubuh akan terbujur kaku, tidak bergerak.  Kalau tubuh masih bergerak, belum disebut mati namanya.  Sehingga dipastikan, jika kematian datang, maka tubuh seseorang akan diam, terbujur kaku, tidak bergerak.  Dalam bahasa biologinya, tubuh itu menjadi seonggok bangkai, yang kalau dibiarkan lama-lama, akan mengeluarkan bau yang tidak sedap.  Itulah sebabnya, dalam syariat islam, begitu seseorang meninggal dunia, dianjurkan untuk segera dikuburkan. 

Secara istilah, maut berarti pindah dari tempat berbuat ke tempat memetik.  Dari tempat beramal ke tempat memetik hasil amal.  Semua amal kita akan dicatat, jika itu kebaikan, maka kita beruntung, karena memetik hasil yang baik. Sebaliknya jika itu keburukan, maka kita akan merugi.  Dan karena catatan amal itu sempurna, maka jangankan orang lain, kita sendiri saja, dapat memperhitungkan apakah kita termasuk golongan selamat atau tidak (lihat Al-Qur’an surat Al Isra [17]: ayat 13-15). Karena sempurnanya catatan amal itu, maka orang yang berdosa, sangat ketakutan (surat Al-Kahfi [18]: ayat 49).

Secara istilah, maut juga berarti Pindah dari alam fana ke alam abadi, dan berpisahnya ruh dari badan. Tetapi kaum musyrikin mengingkari hari kebangkitan menuju keabadian (Qs Qaf [50]: ayat 3-4).

Kedua adalah WAFAT.  Wafat artinya sempurna.  Orang yang wafat berarti telah disempurnakan rezekinya di dunia, dan disempurnakan juga nanti balasan atas segala amalnya di akherat.  Allah berfirman dalam surat Ali Imran 3: ayat 185 yang artinya “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati.  Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu.  Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan.  Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya”.

Karena kematian itu pasti datangnya, maka orang yang Ulil Albaab, berfikir cerdas, selalu berdoa agar diwafatkan bersama orang-orang baik, sebagaimana doa yang tercantum dalam Qs Ali Imran [3]: ayat 193.  Selain diwafatkan bersama orang-orang baik, kita juga hendaknya selalu melazimkan doa agar diwafatkan dalam keadaan Muslim.  Sebagaimana doa nabi Yusuf AS, dalam Qs Yusuf [12]; ayat 101.

Ketiga, adalah AJAL.  Ajal artinya batas waktu.  Ketika ajal datang, berarti batas waktu kita hidup di dunia ini, telah berakhir.  Dan ketika ajal tiba, maka tidak bisa ditangguhkan sedetikpun.  Allah berfirman dalam Qs Al A’raf 7: ayat 34, “Dan setiap ummat mempunyai ajal (batas waktu).  Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaatpun.”  Juga dalam Qs Al Munafiqun 63; ayat 11, “Dan Allah tidak akan menunda kematian seseorang apabila waktu kematiannya telah datang.  Dan Allah maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Tetapi, tidak seorangpun yang tahu kapan ajalnya datang.  Ini adalah rahasia Allah.  Jika semua orang tahu kapan ajalnya datang, maka tidak akan berjalan kehidupan.  Orang yang tahu dia akan mati 6 bulan lagi, misalnya, maka dia tidak akan mau bekerja, dia akan menghabiskan waktunya di mesjid saja, berzikir, tidak pulang ke rumah.  Makan tidak selera, untuk apa makan, jika 6 bulan lagi meninggal?  Tidur pun tidak nyenyak, membayangkan kematian yang sebentar lagi akan datang.  Kalau demikian, tidak akan ada kehidupan.  Inilah rahasia Allah.  Dengan merahasiakan ajal seseorang, Allah ingin kehidupan dunia ini, terus berjalan. 

Keempat, adalah MUSIBAH.  Musibah berarti Ujian.  Orang yang ditimpa musibah adalah orang yang sedang diuji oleh Allah.  Mengapa Allah menguji hamba-hambanya?  Tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengetahui siapa diantara hamba-hamba Nya orang yang sabar.   Allah berfirman dalam Qs Al Baqarah 2: ayat 155-156, “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, kekurangan jiwa (kematian), dan kekurangan buah-buahan.  Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar [155].  (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata,’Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Roji’un’ (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali) [156]”. 

Kalimat ’Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Roji’un’ disebut juga kalimat ‘istirja’ (pernyataan kembali kepada Allah) yang disunnahkan menyebutkan ketika ditimpa musibah.  Kalimat ini seringkali kita dengar apabila kita mendapat khabar duka kehilangan seseorang, apakah itu kerabat, handai tolan, sahabat, rekan, kolega, dan lain sebagainya. 

Relevansi Puasa

Puasa adalah menahan hawa nafsu, mengendalikan hawa nafsu, bukan mematikan  hawa nafsu.  Betapa banyak kerusakan yang terjadi di dunia akibat manusia memperturutkan hawa nafsunya.  Apalagi jika hawa nafsu sudah menjadi Tuhannya, maka dapat dipastikan yang muncul adalah kerusakan-kerusakan.  Dalam hadits riwayat Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, dan Hakim, Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah puasa itu hanya (menahan diri) dari makan dan minum saja.  Sesungguhnya puasa itu (meninggalkan) perbuatan yang tidak ada manfaatnya dan ucapan kotor.  Jika ada seorang yang menghinamu, membodoh-bodohkanmu, maka katakanlah bahwa aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa (HR. Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, dan Hakim)”.

Dalam konteks Allah akan menguji hambanya untuk mengetahui siapa yang sabar dan siapa yang tidak,  puasa juga melatih untuk menjadi orang sabar.  Dalam sebuah hadits riwayat ibnu majah Rasulullah SAW bersabda “Segala sesuatu itu ada zakatnya.  Zakatnya badan itu adalah melaksanakan puasa.  Dan puasa itu adalah sebagian dari sabar” (HR. Ibn Majah).

Al Qur’an surat An Naziat 79: ayat 40-41 menjelaskan bahwa orang yang menekan hawa nafsunya untuk ta’at kepada Allah, maka surgalah tempat tinggalnya, “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya [40]. Maka sungguh, surgalah tempat tinggalnya [41].” Dengan berpuasa, kita berusaha mengendalikan hawa nafsu untuk taat pada apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan apa yang dilarang Allah.  Kalau kita mampu berbuat demikian, maka Insya Allah husnul khotimah akan tercapai di akhir hidup kita, lidah akan mampu mengucapkan kalimat Laa Ilaha Illallah, wajah akan tersenyum, dan hati akan tenang.   Sebagaimana Firman Allah Qs Al-Fajr 89; ayat 27-30, “Wahai Jiwa yang tenang [27]. Kembalilah pada Tuhan-Mu dengan hati yang ridha dan diridhoi Nya [28].  Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku [29] dan Masuklah ke dalam surga-Ku [30]”.

Penulis : H Hendri Tanjung. Ph.D

Diterbitkan : Majalah Peluang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *